Anda mungkin pernah menyaksikan salah satu tayangan ajang pencarian bakat yang tengah berlangsung di awal tahun 2014 di Indonesia. Dalam salah satu tayangan, seorang juri menantang peserta untuk menyebutkan sepuluh nama penyanyi wanita luar negeri dan langsung mendapatkan tiket emas ke Jakarta. Ia menambahkan bahwa ini menunjukkan tanggung jawab peserta sebagai penyanyi. Menurutnya, kalau menyebutkan sepuluh penyanyi luar negeri saja tidak bisa, bagaimana bisa menyanyi. Peserta pun terlihat panik, dan meminta juri untuk mengikuti prosedur saja yaitu menyanyi. Sang juri tetap meminta ia menuliskan sepuluh nama di secarik kertas dengan waktu terbatas. Sayang sekali, ia tidak berhasil menuliskan 10 nama, tetapi kemudian dipersilahkan menyanyi oleh juri lain. Hasilnya: tetap tidak lolos!
Yang menarik, tidak lama kemudian, sang bunda peserta protes karena menilai perlakukan tidak adil. Juri pun menegaskan bahwa pada dasarnya juri punya cara sendiri-sendiri untuk mengetahui peserta mampu bernyanyi atau tidak.
Adegan yang kurang lebih sama juga kita temukan di film drama komedi Devil Wears Prada, yakni saat Andrea Sachs (diperankan oleh Anne Hathway) bermimpi menjadi seorang jurnalis tetapi melamar di majalah fashion terkemuka: Runaway. Andy (panggilan Andrea) pun mendapatkan jadwal bertemu Editor in Chief, Miranda Priestly (diperankan oleh Meryl Streep), tetapi ia ternyata belum pernah mendengar nama Miranda Priestly, padahal Miranda memiliki pengaruh besar di dunia fashion. Miranda pun tidak terkesan ketika mengetahui Andrea belum pernah mendengar namanya, terlebih dengan cara berpakaian yang dinilainya tidak menunjukkan passion di dunia fashion. Kita mungkin akan sepakat dengan argumen Andrea saat itu, “…well, it depends on…” , yah tergantung pandangan kita tentang fashion. Tetapi, gaya berpakaian dan ketidaktahuan Andrea saat itu telah menunjukkan bahwa ia tidak memiliki minat fashion sesuai ‘standar’ dunia fashion, juga tidak memahami mengapa ia melamar ke majalah fashion ‘Runway’, selain mencari pekerjaan.
Salahkah melamar dengan alasan ‘membutuhkan uang’ atau ‘untuk mendapatkan pekerjaan’? Tidak, tetapi, ada ribuan pelamar, dan perusahaan lebih tertarik pada pelamar yang serius ingin menjadi bagian mereka, bukan sekedar mendapatkan keuntungan dari mereka.
Mengapa saya mengangkat cerita ini?
Adegan ini mengingatkan saya pada beberapa proses interview, di mana tidak sedikit pelamar kerja (kandidat) mengatakan memiliki hobi membaca, musik, jalan-jalan, dsb dengan senyum lebar, tetapi terbata ketika diminta menceritakan lebih lanjut. Suaranya mulai lirih atau beberapa masih tetap santai menjawab, “….suka baca apa saja Bu,” dan sama sekali tidak memiliki buku favorit, penulis favorit, cerita berkesan, atau tema paling menarik. Begitu pula dengan musik, kandidat tidak memiliki penyanyi favorit, musisi yang dikagumi, genre favorit, atau alat musik yang dipelajari di waktu senggang. Hobi jalan-jalan? Ah… tidak ada mata berbinar saat menceritakan kota/daerah/negara yang sengaja dibidik untuk jalan-jalan, tetapi sekedar…ya, sekedar lewat, dan senang kalau ada kesempatan jalan-jalan.
Selain hobi, pewawancara tidak jarang menanyakan apa yang pelamar sukai dari pekerjaan/profesinya. Pertanyaan sederhana ini bertujuan untuk menggali keterlibatan diri secara penuh dalam aktivitas sehari-hari. Keterlibatan diri secara penuh artinya tidak hanya skill tetapi juga hati. Jika Anda mencintai apa yang Anda lakukan, Anda akan mampu mengenali hal-hal yang menyenangkan tanpa mengabaikan hal-hal yang mengesalkan. Jawaban ‘biasa saja Bu, namanya juga kerja, ada sukanya, ada dukanya’ adalah jawaban yang mengecewakan. Biasanya pewawancara akan mendorong pelamar untuk menceritakan lebih konkret. Bila kandidat tidak juga bisa menceritakan pengalaman yang konkret, hmm…tanda tanya mulai bertebaran di benak pewawancara 🙂
Tak kenal, tak cinta…
Gambaran ini menjelaskan bahwa trik juri ajang pencarian bakat itu tidak keliru dan sangat logis. Logis, karena jika peserta serius ingin menjadi penyanyi, ia seharusnya telah menyiapkan diri jauh hari. Bukan hanya nekat menantikan saat audisi dari pagi hingga malam hari. Logis sekali jika juri ‘menuntut’ peserta benar-benar mencintai dunia tarik suara, buktinya adalah dengan memiliki banyak referensi dan pengetahuan yang luas tentang musik dan menyanyi. Bukan berarti menguasai semua genre, tetapi setidaknya mampu menceritakan jenis musik/penyanyi favoritnya (lagu-lagunya) juga penyanyi yang menginspirasi untuk menjadi penyanyi.
Peserta yang benar-benar mencintai dunia tarik suaralah yang memberikan harapan besar akan kemajuan dunia ini di Indonesia. Dunia yang telah dijalani penuh cinta oleh para juri, yang tentu tidak rela kalau melihat ada pendatang/junior yang ‘numpang lewat’ saja. Salah satu juri lain juga sempat memberikan komentar pada peserta, “Kamu baru pada taraf senang menyanyi, tapi belum belajar bagaimana cara menyanyi agar bagus.…” Komentar ini melengkapi harapan juri, bahwa peserta tidak bisa hanya senang, atau berminat, tetapi juga harus serius mendalaminya untuk menjadi satu profesi.
Kembali pada film Devil Wears Prada, Andrea pun akhirnya berhasil menarik perhatian Miranda Priestly dengan satu argumen singkat yang berani, hingga saat melangkah ke luar gedung, ia dipanggil oleh asisten Miranda untuk kembali. Konsekuensinya, Andrea harus menyatu dengan dunia kerjanya, ia tidak hanya belajar tetapi juga mengubah penampilannya, ia mulai fasih menyebut nama-nama desainer dan brand berbagai negara. Meskipun kita mungkin bisa berbeda pendapat tentang ‘mengubah penampilan’, tetapi cobalah Anda amati, setiap profesi memiliki ‘gaya’ masing-masing. Ingatlah idiom “birds of a feather flock together” , studi dalam psikologi pun menegaskan bahwa kita cenderung menyukai orang yang mirip atau memiliki kesamaan.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan proses melamar kerja. Apabila Anda hanya ‘numpang lewat’, maka pewawancara pun akan dengan mudah mengenalinya. Proses interview sebenarnya tidak berbeda dengan interaksi dua orang di mana pewawancara akan lebih banyak mendengar dan menggali informasi. Pahami mengapa Anda melamar atau ingin menjalani satu profesi, sehingga kesungguhan Anda pun akan terpancar kuat. Jangan lupa, bahasa non verbal seringkali ‘lebih berbicara’ dari kata-kata.
Anda mungkin bisa melamar satu pekerjaan karena berminat, tetapi minat saja tidak cukup untuk pengembangan karier ke depan. Sementara, perusahaan membutuhkan orang-orang yang serius mengembangkan diri. Jika berminat pada satu bidang, ikutilah seminar/training secara mandiri. Jangan menunggu penugasan perusahaan, karena semua itu akan menjadi cerita indah dan konkret atas minat dan keseriusan Anda mendalami satu bidang. Suatu hari, cerita itu mungkin akan mendarat di satu ruang interview 🙂
Jangan berhenti pada minat, jadikan minat sebagai kompas untuk menggali lebih dalam dan mengembangkan karier!