Menjadi robot bukanlah cita-cita manusia, meski dengan segala daya upaya kita berusaha untuk membuat sistem serba tersambung dan sekali klik.
Apakah Anda pernah menginginkan memiliki satu kotak yang mampu melakukan sepuluh hal sekaligus? Jika Anda seorang desainer produk, apakah Anda pernah mencoba merancang suatu kursi yang mampu berfungsi sebagai tempat tidur? Mungkin sudah banyak, bagaimana jika bisa menjadi pintu rahasia menggantikan lemari dinding, sehingga Anda bisa langsung bersembunyi jika ada rekan kerja yang terlampau unik datang berkunjung? Tidak itu saja, Anda kemudian menambahkan alarm pemindai untuk mendeteksi adanya gempa, termasuk aroma makanan dalam radius sepuluh meter 🙂
Atau, pernahkah Anda menyusun proposal kerjasama dan berpikir keras untuk langsung menawarkan tujuh poin sekaligus? Dalam pandangan Anda, calon klien akan dimudahkan dengan informasi komplit sehingga, jika menginginkan kerjasama lain bisa langsung melihat ‘menu’? Lalu, rekan kerja Anda mengkritik untuk fokus pada kebutuhan yang diminta. Menurutnya, calon klien akan kebingungan melihat beragam penawaran itu. Kalau memang klien minta yang lain, tinggal disusun lagi proposal sesuai permintaan, begitu saran si kawan.
Apakah si desainer seorang yang fleksibel? Bagaimana dengan penyusun proposal? Atau rekan kerja yang mengkritik proposal kerjasama itu?
Fleksibilitas dan Adaptasi
Kemampuan beradaptasi dalam menghadapi perubahan situasi dengan pendekatan yang berbeda untuk mencapai tujuan, adalah inti dari kompetensi fleksibilitas. Apa beda dengan plin-plan?
Kita sering menuntut fleksibilitas pada diri sendiri, rekan kerja, bawahan bahkan… bos! ‘Kaku amat sih… ?’ Kurang lebih itu kalimat yang akan terlontar ketika menghadapi pimpinan yang menuntut ‘ketepatan’ hasil kerja. Sementara, kita pun akan bertambah pusing jika lawan diskusi menyusun proposal selalu mengiyakan alternatif yang kita kemukakan alias ngikut..
Isu perubahan hampir selalu mengikuti fleksibilitas dan sebaliknya. Dalam fleksibilitas terkandung ketrampilan beradaptasi dari satu titik ke titik lain. Menjadi fleksibel, tidak berarti menjadi ‘tanpa bentuk’, sebab perubahan itu ada pada cara. Sementara tetap ada visi diri yang ditampilkan. Sebaliknya, kita akan disebut plin plan ketika tidak bisa menampilkan karakter diri dan menyerahkan tanggung jawab pada orang lain.
Pertanyaan yang cukup mengusik adalah, apakah fleksibilitas merupakan sifat dasar kita atau skill? Apakah ia merupakan proses yang kita pelajari dalam kehidupan sehari-hari dari kecil ataukah memang telah ada secara gen? Berderet penelitian mencoba menguak ini, meski banyak yang lebih mengarahkan pada kepribadian seperti terdapat pada alat tes the Big Five Personality.
Terbuka terhadap perubahan menjadi salah satu penjelas apakah seseorang itu fleksibel atau tidak. Secara logika, tidak ada satu pun anak manusia yang tidak mengenal perubahan, karena perubahan itu telah berlangsung dari hari ke hari baik secara biologis maupun sosial di sekitarnya. Jadi, mungkinkah setiap orang fleksibel?
Mungkin. Namun setiap lingkungan memiliki ukuran sendiri untuk menyatakan seseorang fleksibel atau kaku. Maka, sebenarnya label seseorang bisa beragam dari satu tempat ke tempat lain. Uniknya, kita sendirilah yang mengkonfirmasikan dan ?mengukuhkan? label itu. Selanjutnya, konsistensi sikap dan perilaku lah yang akan menggiring kita pada label diri secara internal dan mendefinisikan ‘siapa saya’.
Fenomena slash career dan generasi Y sangat kental dengan isu fleksibel. Apakah karena ia fleksibel kemudian memilih ber- slash career, yakni menjalani lebih dari satu profesi sekaligus. Apakah generasi Y (lahir 80 ke atas) dengan ketersediaan teknologi, informasi berlimpah dan kecepatan waktu, menjadi lebih fleksibel dari generasi X? Ataukah generasi baby boomers yang fleksibel karena mampu bekerjasama dengan generasi-generasi di bawahnya?
Pada konstelasi generasi manakah Anda? Fleksibel kah?