“Kalau pagi memang suka begini Bu,” ujar seorang kasir di waralaba yang bangga mengiklankan sajian menu sarapan paling pagi. Ia kembali mencoba menggesekkan kartu debet untuk ke sekian kalinya, setelah saya tolak memberikan uang cash. Kalimat ‘kalau pagi suka begini’ pun terlontar dengan wajah antara kesal dan memelas, tapi terus mencoba karena saya tidak bergeming.
Mungkin adegan kecil ini pernah Anda alami dalam setting yang berbeda atau justru sama. Seperti juga pernah saya temui ketika berlibur bersama keluarga di satu daerah di Jawa Tengah yang terkenal dengan menu kepiting super lezat. Karena baru pertama kalinya akan menjajal kuliner di tempat itu, maka cita-cita makan siang pukul 12 tepat bergeser dua jam karena sempat salah jalan. Senyum kami yang mengembang karena berhasil menemukan tempat kuliner sekejap hilang ketika mengetahui menu andalan telah habis, dan hampir menjadi omelan panjang ketika salah seorang pelayan berkata,“Ibu datangnya kesiangan sih, kalau tadi pagi masih ada..”
Kesiangan? Lalu mengapa tertulis di depan buka sampai petang? Begitu pun dengan waralaba dengan sistem pembayaran kartu debet, ‘kalau pagi suka ngadat, jadi datanglah siang saja’ begitukah?
Coba kita ubah kalimat tersebut menjadi: “Maaf Bu, sepertinya sedang bermasalah koneksinya pagi ini, mungkin lima menit lagi, silahkan ibu menikmati sarapan terlebih dahulu,” yang kemudian jika masih bermasalah, ia bisa mengatakan, “Maaf Bu, sepertinya tidak bisa terkoneksi, bagaimana kalau dengan uang cash?” dan “Mohon maaf Bu, kebetulan menu itu sudah habis, mungkin karena sedang musim liburan, bagaimana jika mencoba menu lain yang tak kalah lezat?”
Bukankah saya/kami sebagai konsumen akan semakin terkagum karena kelezatan menu tersebut, dan bertekad untuk datang lebih pagi keesokan harinya atau lain hari? Saya pun akan memaklumi gangguan koneksi pagi itu di waralaba, yang ternyata berhasil setelah dicoba berkali-kali, dan salah seorang rekannya mengingatkan satu kabel yang belum terpasang!
Mesin ‘tercanggih’
Masalah bisa terjadi kapan pun, di mesin dan sistem yang tercanggih sekalipun, namun manusia sesungguhnya ‘mesin’ yang lebih canggih. Mesin yang bisa mencairkan kebekuan sistem, mengembalikan senyum yang porak-poranda oleh kekacauan prosedur, kita memiliki satu sistem yang mampu menghangatkan itu semua: empati.
Empati adalah mampu memahami dan merasakan apa yang dirasakan dan dialami orang lain. Memberikan pelayanan lebih, bukan berarti memamerkan kemutakhiran teknologi dan gemerlapnya, tetapi menyentuh hati. Lihatlah keberhasilan film-film kartun Disney, bukan hanya karena keindahan dan kecanggihan teknologinya melainkan cara penyampaian cerita yang menyentuh hati penonton, tidak sekedar melucu atau berusaha membuat penonton tertawa tapi mengalir dalam tawa, kesal, sedih…seperti halnya kehidupan itu sendiri.
Untuk mendapatkan empati orang lain, kita perlu menunjukkan usaha sungguh-sungguh, tanpa berpikir untuk mendapatkan empati itu sendiri. Andai kasir itu tetap mencoba menggesekkan kartu, lalu memeriksa mesin (memastikan kabel/lainnya), kemudian menelpon manajer/pihak lain, konsumen pun akan melihat usaha serius yang dilakukan, sebelum akhirnya ‘menyerah’ meminta ‘bantuan’ konsumen untuk membayar dengan sistem lain. Kurangnya usaha ini juga sering terjadi di lingkungan kerja perkantoran. Biasanya mereka adalah orang-orang yang dengan cepat menyalahkan sekitar, mulai dari atasan, rekan kerja sampai pesawat telepon yang tergeletak di meja.
Empati memang tidak semudah simpati, namun bukan hal yang super sulit jika kita mau menyentuh apa yang kita kerjakan dengan hati, bukan mesin. Hal ini bisa kita mulai dengan mencintai apa yang kita kerjakan, sehingga tidak terjebak dalam interaksi transaksional semata. Proses kerja bukanlah interaksi antar sistem, mesin dan prosedur, melainkan interaksi antar manusia dengan komitmen dan hati.
gambar: www.mactoons.com