Wednesday, October 30, 2024
HomeArtikelMy JourneyKarir dan Keluarga, Mungkinkah Sejalan?

Karir dan Keluarga, Mungkinkah Sejalan?

“Karier tak semata-mata pekerjaan. Namun, sebuah kemajuan dalam kehidupan individu melalui beragam aktivitas yang bersumber pada kemampuan diri, baik pemikiran, sikap, dan tindakan.”

Masih teringat dalam benak ketika bertemu dengan seorang ibu sebagai vice president di salah satu bank terkemuka. Dengan jabatan tinggi, dia bercerita tetap mempunyai waktu untuk mengurus kedua anaknya yang beranjak remaja. Teknologi komunikasi biasa dia gunakan untuk mengontrol anaknya di rumah maupun di sekolah. Dia rela bangun subuh setiap hari untuk mempersiapkan sarapan, memeriksa pekerjaan rumah anak-anaknya, sekaligus mengantar mereka ke sekolah sebelum bekerja. Kesibukan seorang ibu pekerja di atas,merupakan hal yang biasa ditemui pada masyarakat modern. Tak jarang banyak perempuan bekerja mempunyai perasaan tak nyaman (guilty feeling), karena tidak dapat mendampingi anaknya full time. Sementara,pekerjaan yang sibuk menuntutnya tetap profesional. Kabar gembira, perempuan bisa melakukan kedua hal ini dengan sama baiknya.

PENGEMBANGAN DIRI
Gambaran di atas paling tidak tercermin dari hasil survei yang dilakukan Accenture, di 32 negara termasuk Indonesia beberapa waktu silam. Menyebutkan perempuan lebih memilih bekerja dibandingkan harus tinggal di rumah. Perusahaan global management consulting,servis teknologi, dan outsourcing tersebut menemukan, 42% perempuan dan 46% laki-laki di Indonesia lebih memilih bekerja. Sekalipun,mereka tidak memiliki masalah keuangan. “Karier tak semata-mata pekerjaan. Namun, sebuah kemajuan dalam kehidupan individu melalui beragam aktivitas yang bersumber pada kemampuan diri, baik pemikiran, sikap, dan tindakan,” kata Career Coach Ardiningtiyas Pitaloka. Perempuan yang menjadi konsultan di sebuah situs karier terkemuka ini menyatakan makna karier sekarang lebih pada bagaimana seseorang ingin mengembangkan diri. “Jika membicarakan karier, maka penekanannya adalah eksplorasi diri sebagai pribadi. Jika dilihat lebih jauh lagi menjadi salah satu cara melihat ‘arti diri’ seseorang,” jelasnya. Hal inilah yang sering membuat salah kaprah,terlebih bagi para kaum Hawa. Ambisi yang tinggi terhadap karier, membuat mereka rela kehilangan kehidupan pribadi atau waktu bersama keluarga, lantaran kesibukan pekerjaan. “Itu hanya menjadi tren masyarakat saja. Apapun pilihan perempuan, sebaiknya dilakukan dengan sadar dan membuatnya bahagia. Dengan berkarier, sebenarnya perempuan bisa lebih mengembangkan kreativitasnya,” ujar penulis buku My Passion My Career ini.

TENTUKAN PRIORITAS
Selama ini, karier seringkali menjadi kambing hitam bagi perempuan menikah. Karier dinilai menghambat keharmonisan keluarga.“Karier bukan penghalang, tetapi justru menjadi pengembangan diri. Namun, perempuan yang sudah berkeluarga sebaiknya tetap memprioritaskan keluarga di atas pekerjaan,” ujarnya. Oleh karena itu, lanjut Ardiningtiyas, karier perempuan yang telah menikah sebaiknya tanpa paksaan. Menurutnya, bekerja dengan paksaan akan sulit menciptakan meaningfull of work. Membuat seseorang terbebani dengan perasaan bersalah dan mengurangi keyakinan diri akan keputusan yang diambil. Lain halnya, jika pasangan menilai karier adalah sebuah cara untuk memenuhi kebutuhan hidup. Rasa terpaksa seringkali tak mampu dihindari. “Konsep keluarga juga bisa menjadi penyebab,seperti keyakinan pembagian peran antara suami dan istri. Sehingga lazimnya suami mencari nafkah,” jelasnya.

EFEKTIF WAKTU & KOMUNIKASI
Tidak dipungkiri, sebagian orang bekerja dan berkarier hanya mengikuti kelaziman di masyarakat. Bukan untuk menciptakan makna dan pengembangan diri.“Ketika seorang perempuan dihadapkan dengan karier atau keluarga, cenderung mengharapkan pengertian dari keluarga dan perusahaan. Tanpa mau berusaha menjalin komunikasi yang efektif, sehingga justru menimbulkan salah paham dan dukungan rendah,” jelasnya. Padahal secara logika, perusahaan dan keluarga akan bangga bisa melihat Anda bisa menjalani karier dan keluarga dengan baik.“Perusahaan senang memiliki karyawan dengan keluarga bahagia. Begitupun keluarga, mereka akan bangga dan bersyukur memiliki ibu yang bisa bermanfaat bagi banyak pihak,” tambahnya. Hanya saja pengelolaan waktu dan komunikasi yang efektif harus dibangun. Jalin komunikasi dengan pihak yang tepat, tanpa menurunkan profesionalisme di kantor. Kedua hal ini, menurut Ardiningtiyas harus dilakukan secara simultan dan sungguh-sungguh. Pengelolaan waktu yang demikian perlu melibatkan komunikasi efektif pula. Baik dengan keluarga maupun di tempat kerja. Komunikasi dalam keluarga, terutama anak-anak mesti dijalin dan peka terhadap lingkungan sosial. “Sayangnya yang terjadi selama ini, justru menjadikan keluarga sebagai alasan kurangnya sikap profesionalisme. Lalu, menganggap kantor sebagai excuse, rendahnya perhatian terhadap keluarga,” lanjutnya.

KEMBALI DARI AWAL
Berhenti sejenak dari pekerjaan karena melahirkan dan mengurus anak, seringkali
membuat perempuan tak lagi percaya diri untuk berkarier. “Biasanya disebabkan ketidaknyamanan diri meninggalkan anak yang selama ini dijaga penuh. Padahal, berhenti sementara dari pekerjaan, tidak menghilangkan kemampuan profesional seorang perempuan,” jelasnya. Cobalah memiliki tujuan yang kuat untuk kembali berkarier. “Mulailah dari awal. Mencari pekerjaan berdasarkan minat, mengirim lamaran, dan ikuti prosesnya. Jangan ragu untuk mengemukakan alasan vakum, karena anak saat interview,” tambahnya. Berterus terang adalah sikap yang lebih dihargai,daripada mengarang alasan lain. Setelah proses kerja berlangsung, rasa percaya diri pun tumbuh dan semakin kuat seiring berjalannya waktu.(Dina Marliana – Fem Magazine • 011 • 21 SEPTEMBER – 4 OKTOBER 2014 | Foto: photl.com)

*Penayangan artikel ini seizin FEM Magazine

Tyas
Tyas
Career Coach & HR Consultant - "Mind is Magic"
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments

konsultankarir on Pilihan, Memilih or Stuck
konsultankarir on Bingung S2
konsultankarir on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
konsultankarir on Memilih Jurusan S2 yang Tepat
konsultankarir on Gagal tes psikotest
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
konsultankarir on Sulit mendapatkan pekerjaan
konsultankarir on Wawancara dan Psikotest
konsultankarir on Kuis:Career Engager
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Selalu Gagal dalam Interview
konsultankarir on Interview Magic
konsultankarir on Pindah Tempat Kerja
konsultankarir on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
konsultankarir on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
konsultankarir on Psikotes Menggambar
konsultankarir on Memilih Jurusan S2 yang Tepat
konsultankarir on Memilih Jurusan S2 yang Tepat
konsultankarir on Bingung S2
konsultankarir on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
konsultankarir on Memilih Jurusan S2?!
Angelina Tria Puspita Rini on Memilih Jurusan S2?!
Lisa on Bingung S2
Fiviiya on Psikotes Menggambar
Wendi Dinapis on Memilih Jurusan S2?!
hasenzah on Memilih Jurusan S2?!
yulida hikmah harahap on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
Galuh Rekyan Andini on Memilih Jurusan S2?!
burhanuddin on Memilih Jurusan S2?!
Dian Camellyna on Kuis:Career Engager
ABDUL RAHMAN on Wawancara dan Psikotest
Melva Ronauli Pasaribu on S1 Teknik Informatika S2 Bagusnya Apa?
Faradillah Rachmadani M.Nur on Memilih Jurusan S2?!
Taufik Halim on Memulai Bisnis Fotografi
Edo on Bingung S2
konsultankarir on Profesi yang sesuai
konsultankarir on Bingung S2
yaya on Bingung S2
konsultankarir on Memilih karir
dewi on Pindah kerja
konsultankarir on Memilih Jurusan S2 yang Tepat
dewi on Pindah kerja
Tyas on ILKOM atau MTI
hary on ILKOM atau MTI
Kiki Widia Martha on Buku ‘My Passion, My Career’
jalil abdul aziz on Karir Untuk Lulusan Sosiologi
Nono Suharnowo on Bagaimana agar produktif?
syukri on Jujur atau tidak?
Nida shofiya on Bingung pilih fakultas
abdul madjid on Gagal tes psikotest
abdul madjid on Gagal tes psikotest
Aris on Tujuan karir
NURANI on Tujuan karir
dede on Tujuan karir
Rika on Tujuan karir
Djoko triyono on Sulit mendapat pekerjaan
marco on E-mailku unik!
Efik on Memilih karir
noer hasanah on Berminat ke NGO Asing
ilah susilawati on Status dan jenjang karir
yusi bayu dwihayati on Berpindah Karir di Usia 32
dino eko supriyanto on Menyiapkan Business Plan
Gunawan Ardiyanto on 10 Biang Bangkrut UKM
Nahdu on Table Manner
krisnadi on 10 Biang Bangkrut UKM
rani on Table Manner
yuda_dhe on Table Manner
Putrawangsa on Memilih Jurusan S2?!
aira on Time Management
Emi Sugiarti on Sudahkah Anda Peduli?
fitria on Table Manner
Ardiningtiyas on Menuju 'Incompetency Level'
Sri Ratna Hadi on Dari Penjahit ke Penulis
monang halomoan on Program SDM tahunan
merlyn on Ayo, Kreatif!
Silvester Balubun on Table Manner
Avatara on Istimewanya Rasberi
vaniawinona on Table Manner
defianus on Tips Negoasiasi Gaji
Dewi Sulistiono on Meniti Sebatang Bambu
Rena on Tersadar…
Dendi on Ayo, Kreatif!
Denni on Menemukan Mentor