Saya Aci, baru lulus kuliah. saya punya pengalaman kerja sebagai jurnalis selama 1 tahun lebih di sebuah media cetak lokal. selama saya bekerja dulu, saya sangat menikmati dan bangga atas pekerjaan saya. apalagi, jurnalistik adalah passion saya dari kecil. ya, dari SD sampai duduk di bangku kuliah, saya selalu mengikuti kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik. Saya juga sempat beberapa kali memenangi lomba menulis, baik fiksi maupun nonfiksi. saya juga punya pengalaman magang di perusahaan media massa, sampai akhirnya saya direkrut untuk bekerja di perusahaan tersebut.
Namun, seiring berjalannya waktu, saya mulai sadar, bahwa pekerjaan jurnalis memiliki beberapa kekurangan. misalnya gaji yang minim. jujur saja, masalah gaji seringkali menjadi momok bagi saya, dan rekan-rekan jurnalis lain yang saya kenal dari media lain. Dengan beban kerja, risiko bahaya yang besar dan waktu bekerja yang seringkali overtime, apalagi tidak ada uang lembur, saya merasa dijadikan sapi perah oleh perusahaan. Selain itu, karena jam kerja yang selalu overtime, saya merasa tidak memiliki kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial. Waktu untuk keluarga dan pacar sangat terkuras. waktu luang untuk sekadar ngopi maupun bersosialisasi dengan teman-teman pun amat sangat sulit saya dapatkan. Saya merasa waktu saya 24 jam adalah milik kantor, sedangkan secara ekonomi kinerja saya kurang dihargai oleh perusahaan. Sekali lagi, karena sudah banyak mengenal teman dari berbagai perusahaan media, baik lokal maupun nasional, saya tahu bahwa keadaan ini terjadi hampir di semua media. Jadi intinya, di mana pun perusahaannya, selama itu adalah perusahaan media, keadaannya sama saja.
Jujur, setelah lulus dan mempunyai gelar sarjana (saya adalah fresh graduate namun berpengalaman kerja), saya jadi trauma untuk kembali bekerja di media. Tawaran bekerja kembali di kantor saya dulu, saya tolak. saya justru melamar ke perusahaan-perusahaan lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan media massa. Namun tidak bisa saya pungkiri, saya punya passion yang tinggi di bidang media. karena itu, sedikit-sedikit saya juga tetap melamar pekerjaan di media (tentunya bukan perusahaan media tempat saya bekerja dulu). Namun saya sendiri ragu, kalau pun saya diterima bekerja di media lagi, apakah saya mampu untuk bertahan dengan keadaan yang kurang-lebih sama seperti dulu, atau justru cepat-cepat resign karena menginginkan sesuatu yang lebih baik. Apalagi, suatu saat nanti saya pasti akan mengalami fase di mana saya menjadi istri, sekaligus seorang ibu. Kalau waktu kerja saya overtime terus, bagaimana saya mengurus keluarga saya nantinya? Kalaupun misalnya harus memakai jasa asisten rumah tangga atau babysitter, dari mana uangnya? Mengingat pekerjaan di media itu gajinya tidak seberapa.
Saya bingung, antara memilih uang, atau passion. jujur, saya menginginkan passion. Tapi hidup pun juga harus realistis. saya ingin uang, namun saya cinta dengan dunia media. Saya bercita-cita menjadi pemimpin redaksi, namun saya juga butuh uang untuk hidup dan waktu untuk diri sendiri. Apa yang harus saya lakukan? Mohon jawabannya. terima kasih banyak sebelumnya.
Hi Aci,
Sungguh, persoalan ini juga saya hadapi di awal menggeluti profesi jurnalis. Entah terbilang nekat atau tambeng, saya memilih tak meninggalkan profesi ini. Materi memang menjadi sandungan utama sebagai jurnalis. Terlebih banyak perusahaan yang hanya memiliki modal sedikit, tapi nekat mendirikan perusahaan media. Padahal, menjalankan media membutuhkan uang yang sangat banyak.
Saran saya, jika memang passion-nya di bidang jurnalistik, tak ada salahnya terus “berjuang”. Masih muda, baru lulus kuliah, sebaiknya jangan dulu mengawang-awang soal pernikahan. Dunia jurnalistik itu unik. Jika hasil yang dicari melulu materi, profesi ini sungguh tidak menjanjikan apa-apa. Tapi jika mencari yang lebih dari itu, profesi ini sangat mungkin menghasilkan.
Sebut saja pengetahuan yang kian luas. Jaringan pertemanan yang tak berbatas. Dua hal yang mungkin jika dikelola dengan baik, bisa menghasilkan materi tambahan.
Contoh, kita bisa memperoleh tambahan jika kita mengenal seseorang yang bergerak di percetakan, atau biro iklan. Kita bisa mencari tambahan dengan menulis untuk mereka. Pekerjaan tambahan, butuh waktu tambahan, dan menghasilkan materi tambahan. Marketing media lain yang tidak head to head dengan tempat kita bekerja juga bisa dimanfaatkan. Kita bisa menjadi penulis advertorial mereka.
Hal di atas tentunya tidak didapatkan semudah saya menuliskan ini sebagai contoh. Perlu waktu dan kerja keras untuk membuka jaringan dan mengembangkan kemampuan menulis terlebih dulu. Tapi yang pasti, selalu ada jalan untuk setiap usaha yang dilakukan.
Saat kita memiliki kemampuan kewartawanan yang baik, “harga” akan menyesuaikan. Seperti uangkapan candaan yang kerap kita dengar, “ada kualitas, ada harga”. Semoga bermanfaat. 🙂
Vriana Indriasari
lihat profil Our Kaka di sini