Tidak berlebihan rasanya jika kelebihan kita mendapat pujian dan sanjungan ‘two thumbs up deh…’. Namun, apa yang terjadi jika sebaliknya? Seorang rekan atau bos melontarkan pujian namun pada saat yang sama juga meminta untuk kita mengurangi ‘kadar kelebihan kita’ seperti: ‘Kamu terlalu independen deh’ atau ‘Bagus sih to the point, tapi lain kali lihat situasi ya…’
Ini dia potensi blind spots (titik buta) yang mengintai. Istilah blind spot memang secara harfiah merujuk pada bagian kecil dari retina mata yang tidak sensitive terhadap cahaya sehingga dapat ‘mengacaukan’ pandangan.
Blind spots are things we think and do unconsciously that can negatively influence how other people feel about us (Shelton, 2007)
Kekuatan & kelemahan diri
Mampu mengenali kekuatan diri sendiri adalah penemuan yang penting. Yakni, aktivitas spesifik yang mampu kita lakukan dengan baik dan kita senang melakukannya. Selain aktivitas, skill atau pengetahuan tertentu secara mendalam juga dapat menjadi kekuatan kita. Setiap orang memiliki kekuatannya sendiri yang unik. Apakah Anda seorang yang persuasive, koorperatif, menguasai empat bahasa asing, dsb.
Bagaimana dengan kelemahan diri? Kita juga memilikinya, karena tidak ada manusia yang sempurna. Mengenali aktivitas spesifik yang tidak dapat kita lakukan dengan baik dapat menjadi indicator kelemahan diri. Jika masih bertanya-tanya, cara sederhana lain untuk mengetahuinya adalah dengan menjawab pertanyaan: (a) dalam bekerja, aktivitas/tugas apa yang paling tidak menyenangkan tetapi harus dikerjakan? (b) skill apa yang harus dimiliki untuk menyelesaikan tugas tersebut? (Rich, 2001)
Apa perannya dalam blind spots?
Kita sering tidak menyadari bahwa sikap, perkataan, ekspresi, tindakan bahkan pikiran yang melintas dapat menciptakan suasana tidak kondusif dalam interaksi social. Shelton (2007) dengan tegas menyatakan ketidaksadaran inilah yang dapat mengancam perjalanan karir seseorang. Blind sponts bersumber dari kekuatan dan kelemahan diri kita sendiri termasuk lingkungan sekitar, dengan rumusan: (a) penggunaan kekuatan diri secara berlebihan berpotensi mengubahnya menjadi kelemahan; (b) setiap kelemahan diri berpotensi untuk berkembang menjadi kekuatan seseorang; (c) lingkungan sekitar dapat mempengaruhi cara pandang tentang karakter personal kita, apakah sebagai kekuatan atau kelemahan; dan (d) apa yang kita anggap sebagai kekuatan dipandang sebaliknya oleh orang lain
Keempat rumusan tersebut membentuk empat zona blind spots seperti berikut:
Box 1: I see it/ others see it. Ini adalah blind spots yang paling mudah terlihat (sekaligus diserang) berdasarkan informasi atau pernyataan orang lain. Ketika kita memiliki pandangan/ hasil pengamatan yang sama dengan orang lain, maka akan lebih mudah untuk membuat perubahan atau mengatasi blind spots ini. Misal, rekan kerja menyatakan, ‘Ide kamu oke, tapi bahasa kamu terlalu abstrak sehingga teman-teman kesulitan menangkap intinya.’ Kemudian berdasarkan pengamatan (interospeksi) sendiri, ternyata kita menyadari hal yang sama, maka dalam kesempatan lain, kita akan menyusun presentasi yang lebih konkret, termasuk cara penyampaiannya.
Box 2: I don’t see it/ others see it. Kita perlu berusaha lebih keras untuk dapat memahami blind spots ini, karena biasanya telah menjadi kebiasaan/ habit yang mengganggu tetapi tidak kita sadari. Pada blind spots ini, orang lain dapat melihatnya tetapi tidak sesuai dengan gambaran yang kita lihat sehingga kita cenderung mengabaikan atau menolak. Bisa juga karena membingungkan dan dapat menimbulkan rasa cemas atau tidak nyaman, tanpa sadar kita menunjukkan sikap tidak senang atau tersinggung, sehingga orang lain berusaha untuk tidak menyinggung lagi.
Box 3: I see it/ others don’t see it. Blind spots ini mirip hantu, karena kita sendiri yang melihatnya. Ada kalanya kita cenderung menggerogoti kepercayaan diri sendiri dengan sesuatu yang tidak perlu atau telah menjadi masa lalu. Misal, kita pernah menjadi seorang yang kurang asertif sehingga perlu melatih diri dalam berbagai kesempatan. Namun, setelah bertahun-tahun, kita masih merasa belum menjadi seorang yang asertif sehingga merasa rendah diri karena takut tidak mampu menyampaikan pendapat yang berbeda secara tepat sehinggga dapat menyinggung orang lain. Pada saat yang sama, rekan kerja termasuk atasan menilai kita sebagai orang yang mampu berdiplomasi bahkan persuasive.
Box 4: I don?t see it/ others don’t see it. Jika tidak ada yang melihat, lalu bagaimana blind spots itu ada? Pernahkah kita merasa tiba-tiba ada yang salah atau tidak nyaman dalam interaksi dengan seseorang tanpa tahu pasti penyebabnya? Misal, bos meminta kita untuk memangkas pengeluaran yang akhirnya menyebabkan penundaan realisasi rencana tunjangan tertentu. Padahal tujuan utama bos bukan pengurangan tunjangan tetapi karena kondisi financial perusahaan saat itu. Kita merasa tidak senang dengan kebijakan tersebut, meski tahu bahwa bos berusaha melakukan langkah antisipasi untuk kelangsungan perusahaan. Secara tidak sadar, kita menyalahkan bos, bos pun merasakan ‘kemarahan’ kita namun tidak dapat menyatakan atau memastikan penyebabnya. Dalam setiap rapat, kita mulai merasakan ketidaknyamanan yang sebelumnya tidak terjadi. Hmmm? artinya ada blind spots yang sedang beraksi.
Bagaimana mengenali blind spots kita?
Kebanyakan orang cenderung menghindari memberikan feedback negative dan tidak ingin menyinggung perasaan orang lain. Kita takut jika mengabarkan kabar buruk karena ‘they will shoot the messenger’ atau akan mendapatkan respons negative. Satu lagi, high achiever biasanya cenderung untuk mendengar pujian dan sanjungan.
Untuk menyiasati serangkaian rahasia umum tersebut, kembangkan pendekatan: (a) feedback seimbang; (b) diskusi informal; (c) feedback blind spots 360 derajat; (d) menemui konsultan/coach; atau (e) diskusi kelompok.
Biasakan untuk selalu meminta penilaian di akhir proyek, aktivitas atau pengungkapan ide, seperti kekuatan dan potensi resiko untuk menyusun langkah antisipasinya. Jika proses ini telah menjadi kebiasaan dalam lingkungan /komunitas kerja kita, maka akan lebih mudah mendiskusikan blind spots karena telah tercipta suasana nyaman untuk kritik membangun. Cara lain, yakni melalui diskusi informal antara dua orang yang telah akrab sehingga memungkinkan pembahasan isu sensitive. Sementara untuk pendekatan feedback blind spots 360 derajat, biasanya dilakukan secara struktural organisasi/perusahaan. Pendekatan dengan seorang konsultan/coach karir juga dapat dilakukan perusahaan untuk menjaga objektivitas. Pendekatan terakhir yakni diskusi kelompok mirip dengan diskusi informal namun dengan jumlah mulai lima hingga 15 orang. Tentu, secara teknis, 15 orang ini membentuk kelompok kecil sehingga lebih efektif.
Apa saja tema diskusi untuk menemukan blind spots? Kita dapat menggunakan framework blind spots berikut:
1. Misused strength: bagaimana kita tidak memanfaatkan kekuatan diri secara efektif
2. Old habits: apa kebiasaan kita yang perlu diubah saat ini
3. Stress expressed: bagaimana ekspresi perasaan kita yang negatif
4. Untuned radar: bagaimana kita salah ‘membaca’ orang lain/ situasi
5. Disconnect: bagaimana komunikasi kita yang tidak berhasil
Kita bisa melakukan permainan dua atau tiga orang untuk menuliskan di atas kertas menggunakan framework blind spots. Masing-masing menuliskan pandangan untuk diri sendiri dan orang lain (sejumlah yang ada). Selanjutnya, rangkum semua pandangan tersebut ke dalam bagan/box blind spots dan mulailah diskusi terbuka nan seru 🙂
Semoga bermanfaat.
Referensi:
Rich, Jason R. (2001) Your career: coach yourself to success. New York; Learning Express, LLC
Shelton, Claudia M. (2007) Blind spots: achieve success by seeing what you can?t see. New Jersey; John Wiley & Sons, Inc.