Saat ini, bahasa asing dapat dikatakan tidak lagi menjadi ganjalan, sehingga pertemuan dengan pihak asing pun lancar-lancar saja. Akan tetapi, ada faktor lain yang dapat membuat ‘rancu’ yakni budaya. Jo Angouri (2010) menyatakan bahwa semakin banyak perusahaan besar yang meminta karyawannya mendapatkan pelatihan komunikasi antar budaya untuk meningkatkan keahlian negosiasi dan berinteraksi dengan orang dari beragam latar budaya. Hal ini ia kemukakan dalam Journal of Language and Intercultural Communication (2010) dengan judul artikel “If we know about culture it would be easier to work with one another: developing skills for handling corporate meetings with multinational participation.”
Pengetahuan dan pemahaman tetang lintas budaya dapat menjadi clues karyawan untuk mengoptimalkan hasil produksi. Tidak ada lagi istilah, ‘harusnya dia tahu’ atau ‘bukannya dia harus begitu karena dia dari negara X’. Era globalisasi dan revolusi teknologi yang sedang kita hadapi sekarang ini, membuat perbedaan budaya menjadi wajib untuk dipahami setiap karyawan. Bahasa bukan lagi menjadi faktor esensial dalam memahami perbedaan itu, tetapi ilmu atau keahlian dalam membaca perbedaan budaya saat meeting atau negosiasi menjadi krusial.
Sebagai contoh, Sarah bekerja di sebuah perusahaan X yang memperkerjakan karyawati M (dari Spanyol) dan karyawan N (dari Jerman). Mereka ahli di bidang masing-masing dan saling melengkapi, namun pada suatu hari, Sarah melihat bahwa ada friksi di antara mereka. Salah satu friksi yang cukup tajam adalah mereka ternyata memahami dan menerapkan standar kerja perusahaan secara berbeda, sehingga target deadline menjadi rancu.
Mengapa? Pada umumnya, karyawan yang berasal dari Italia dan Spanyol mengganggap bahwa meeting bukanlah tempat untuk mencari solusi (problem-solving) atau menyepakati sesuatu (reaching agreement), tetapi meetings adalah tempat untuk penyebaran informasi dan pembahasan terhadap keputusan yang telah dilaksanakan. Contoh lain adalah masalah bagaimana bertanya dan menjawab; bagi karyawan dari Inggris cara bertanya dan menjawab tidak pernah dilakukan secara langsung atau to the point. Sedangkan bagi karyawan yang berasal dari Jerman, mereka punya kebiasaan untuk bertanya dan menjawab secara langsung tanpa tendeng aling-aling. Dengan begitu, apabila di sebuah meeting kebiasaan-kebiasaan seperti yang telah dijabarkan diatas tidak diketahui oleh satu karyawan dengan yang lainnya, maka friksi atau miss-communication dapat dengan mudah terjadi.
Lain lagi dengan karyawan yang berasal dari Cina. Mereka sangat memperhatikan hierarki dan kedudukan seseorang. Contohnya, orang yang pertama masuk ke ruang rapat adalah mereka yang memiliki kedudukan tertinggi yang kemudian diikuti oleh mereka berkedudukan lebih rendah. Letak dudukpun menjadi suatu hal yang penting, karena ‘lalu lintas’ rapat atau diskusi akan ditentukan olehnya.
Mungkin sepintas sepertinya rumit, namun mempelajari kultur merupakan hal mengasyikan dan dapat menunjang perkembangan karir kita!
Bagaimana dengan pengalaman Anda?
Gambar:library.csun.edu