“Job belongs to company, career is yours!”. Berapa waktu yang lalu, saya bertemu kawan lama yang kini telah berhasil menembak perusahaan impiannya. Anda mungkin sudah membayangkan serunya rumpian reuni kami, benar….seru memang sampai akhirnya saya terkejut mendengar peluru yang terpendam. “Tahu ga, ternyata….semua orang yang saya temui di kantor itu tidak ada yang bangga kerja di situ, sampai level direktur bilang ke anak baru kalau ia tidak akan membiarkan anaknya masuk ke sana. Gila ga…tu anak baru kan langsung pucat masai!” Belum sempat saya mencerna habis kalimat dan luapan emosinya, ia melanjutkan “Saya cabut atau gimana ya?” Oooops…..
Saya masih tercenung dengan kalimatnya. Saya masih ingat bagaimana usahanya mengincar perusahaan impian itu, sekian lama ia berhasil mendorong dirinya di tengah suara sumbang orang-orang. Suara sumbang untuk menyerah dan memilih yang lain. Gagal sekali, ia tertawa lepas, gagal dua kali, ia masih terbahak, gagal tiga kali, matanya mulai menyipit dan berujar “Lihat saja” dan terus mencoba hingga akhirnya dia mendapatkannya! Kisah perjuangannya itu hanya sempat saya ketahui sesekali hingga saya tidak pernah mendengar motivasi sesungguhnya mengincar perusahaan impian itu. Yang pernah saya tangkap adalah ia ingin bekerja di sana karena menjanjikan kemapanan finansial, jaminan keluarga, jaminan pensiun bagus, dan …keren, hehehe.
Motivasi yang berhasil menggenjotnya melintasi beberapa kota. Ia pun bersedia untuk ditempatkan di cabang kota mana saja, meski berharap bisa negosiasi untuk kota A dan B. Dewi fortuna pun menghampiri, ia mendapatkan di kota impian pula. Kini…. ia membuat saya terperangah melihat raut muka yang penuh kegeraman. “Atasan yang baru ini seenaknya sendiri, ga lihat situasi kalau marah, ga menguasai pekerjaan tapi nyuruh seenaknya, saya yang kerjakan semua, tapi bilang terima kasih aja enggak, emang ternyata dikenal penjilat tuh, ke atasan dia aja bermanis-manis!”
Oke, jadi karena atasan, salah satunya. Saat saya coba untuk menanyakan lebih jauh, ia pun mengungkapkan keinginan untuk bekerja di satu tim yang akrab, seru, kompak, dan pimpinan yang bisa merangkul. Atasan yang tidak sok. “Ada tuh pimpinan cabang lain, wiih….cool, gayanya sederhana banget, sampai pernah dilarang masuk sama satpam cabang lain, hahaa….” Pimpinan itu, menurutnya sering sidak untuk tahu cara pelayanan perusahaan baik dalam menerima atau menginformasikan peraturan yang harus dipenuhi tamu.
“Gak aneh-aneh deh, pokoknya kerjaan beres, tim kompak, hidup sejahtera…haha…apa lagi coba, simpel kan?” Begitu jawabannya waktu saya menanyakan keinginan utamanya (personal) dalam bekerja. Memang terdengar simpel, namun sadarkah ia bahwa yang terdengar simpel itu mengandung kerumitan, untuk itu tidak bisa disimpelkan alias disederhanakan begitu saja. Less is More..
Keinginannya memang tidak aneh, alias dambaan (hampir) semua orang bekerja. Akan tetapi, apakah setiap orang yang juga menginginkan hal ini bersedia untuk mewujudkannya, atau lebih memilih (secara tidak sadar) untuk ‘simsalabim’ berada di kondisi tersebut? Berharap untuk mendapatkan tim yang kompak, atasan yang merangkul, kesejahteraan finansial, dsb?
Bagaimana dengan Anda?