oleh Vriana Indriasari (Pemenang Harapan Share Your Career Story).
Tinggal di Jakarta.
Tidak pernah terlintas sebelumnya bahwa aku akan menjadi seorang penulis. Cita-cita menjadi seorang dokter selalu memenuhi kepalaku sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Apa dinyana, manusia boleh berkeinginan namun semua keputusan tetap di tangan-Nya.
Tidak sekadar cita-cita, usahaku mewujudkan diri menjadi seorang dokter pun terbilang kuat. Dunia eksakta yang penuh angka menjadi makanan sehari-hari. Aku juga selalu berhasil duduk dibangku sekolah-sekolah favorit di Depok. Sayangnya, kedua orang tua tidak mengijinkanku melanjutkan kuliah kedokteran di Malang. Dengan dalih, tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk karena hanya aku anak perempuan yang mereka miliki, Aku pun akhirnya urung menjadi dokter.
Putus asa? Mungkin. Aku menyadari sepenuhnya kemampuan finansial keluarga, sehingga tidak mungkin rasanya mewujudkan mimpiku dengan bersekolah di universitas swasta. Akhirnya tidak melanjutkan kuliah menjadi pilihan terbaik saat itu. Aku hanya mengambil kursus di Lembaga Indonesia-Amerika (LIA). Untuk uang jajan, aku memberi les privat Inggris. Hasilnya lumayan, setidaknya aku bisa membiayai kebutuhan dasarku.
Tiga tahun berlalu, tiba-tiba orangtua mulai menyinggung soal kuliah. Ternyata mereka baru saja bertemu dengan salah seorang guru SMP-ku. Guruku itu menyayangkan kecerdasanku yang sia-sia jika tidak melanjutkan kuliah. Akhirnya keinginan menyambung pendidikanku kembali datang. Kali ini, berbekal kemampuan bahasa Inggris yang kupunya, mimpiku bergeser menjadi seorang diplomat. Jurusan Hubungan Internasional menjadi sasarannya. Tapi di mana kampus dengan biaya yang bsia dijangkau oleh keuangan keluargaku yang pas-pasan?
Terpilihlah sebuah kampus di kawasan Lenteng Agung. Duduk dibangku kuliah tidak lantas membuatku hidup bisa berleha-leha. Aku berusaha mencari uang tambahan supaya tidak terlalu membebani orang tua. Paling tidak buku-buku bisa kubeli dengan jerih payahku sendiri. Mengajar bahasa Inggris pada teman-teman kuliah hingga menjadi penjaja koran pernah kulakoni.
Sebuah tabloid yang masuk kelas “ecek-ecek” menjadi titik balik perjalanan hidupku. Bermodalkan bahasa Inggrisku yang lumayan, aku masuk dalam jajaran redaksi tabloid terebut. Entah apa penyebabnya, sang pemimpin redaksi sangat percaya dan menyukai hasil kerjaku. Tidak bertahan lama, tabloid itu harus berhenti beroperasi. Aku kembali ke bangku kuliah dengan pekerjaan sampingan menjadi koordinator promosi sebuah harian ternama di Indonesia. Menjadi koordinator di sini merupakan kelanjutan keuletanku menjajakan koran dengan harga murah setiap Jumat. Hasilnya sangat lumayan membantu kehidupanku sehari-hari.
Waktu berlalu hingga akhirnya aku dipaksa melepas pekerjaanku dan konsentrasi pada kuliah yang mulai terbengkalai. Akhir 2003 aku berhenti bekerja dan berusaha mengejar wisuda pada April 2004. Aku pun berhasil mendapat nilai yang memuaskan. Rasa khawatir mulai datang karena terbayang sulitnya mencari pekerjaan lagi.
Kata orang, kalau memang rejeki tidak akan ke mana. Ungkapan itu pun mampir di hidupku. Satu minggu menjelang wisuda, aku diterima bekerja di sebuah tabloid yang mengupas tentang sumber daya manusia. Hidupku sepertinya mulai berjalan sesuai harapan. Selang satu tahun, aku memutuskan berhenti sementara karena ada sesuatu hal yang mengharuskan aku lebih sering berada di rumah.
Ternyata semua tidak seperti bayangan. Baru dua bulan aku di rumah, dunia seperti berhenti berputar. Aku pun memutuskan untuk kembali mencari pekerjaan. Dalam waktu dua minggu aku sudah bisa kembali bekerja. Kali ini sebuah majalah gaya hidup pria menjadi “pelabuhan”ku. Di tempat ini, pertama kalinya aku dihadapkan pada suasana persaingan kerja yang menurutku sangat tidak sehat. Ternyata aku tidak cukup kuat untuk berada di dalamnya, dan kembali memutuskan hengkang setelah setahun mengais rejeki di sana.
Hanya beberapa hari aku menganggur, sebuah tawaran menjadi penulis kembali datang. Kali ini sebuah majalah gaya hidup dan properti. Di sini aku benar-benar memperoleh pelajaran bagaimana menulis dengan baik dan benar. Maklumlah, latar belakangku bukanlah jurnalistik. Bisa dibilang tidak pernah ada ilmu jurnalistik yang mampir ke otakku. Adalah Arif Bargot Siregar, seorang teman dan juga atasanku yang mengajari semua pakem untuk menjadi penulis yang baik. Jasa yang tak terhingga bagiku.
Kini, Majalah Tamasya menjadi tempat berlabuhku yang paling lama. Selain karena topik yang dibahas sangat menyenangkan juga karena lingkungan kerja yang friendly serta atasan yang perhatian pada karyawannya. Di tempat ini juga memungkinkanku untuk mengeksplor kemampuan dan hasratku dalam menuangkan segala rasa dan pikiran yang kurasakan ke dalam tulisan.
Dalam hidup, aku tidak pernah mengejar apa yang disebut jabatan. Aku hanya ingin bekerja, menghasilkan sesuatu yang layak dibanggakan serta penghasilan untuk membantu menghidupi orang tuaku. Jabatan tanpa sumbangsih nyata pada perusahaan dan diri sendiri, bagiku tidak ada artinya. Penulis dilihat dari karya tulisnya, bukan dari jabatan apa yang disandangnya. Berpikir demikian membuatku lebih tenang dan ikhlas menjalani pekerjaan dan hidup. Kini hidup kujalani seperti air mengalir. Tidak ada lagi mimpi menjadi diplomat atau apapun. Kini, aku hanya ingin menjalani hidup yang ada dan berbuat yang terbaik sesuai lakonku saat ini, Insya Allah rejeki akan mengikuti.
Perjuangan yang sangat ruar biasa…..dan sangat realistis tidak ngoyo…mudah2an Allah memberi yang terbaik ya ….Amin.
seperti air yang mengalir ya. semua ada solusinya. semua terjadi untuk satu alasan. saya salut atas keikhlasannya. semoga yang terbaik untuk anda selalu.
very inspiring story.
hmmm.. kayaknya kampusnya sama ya di lenteng agung …. : )
bosnya juga kayaknya sama ya .. : )