oleh: Lufiana Harnany – Pemenang Harapan Share Your Career Story
Tinggal di: Jakarta.
Pegawai Negeri bagi sebagian besar orang memang masih menjadi mimpi yang sangat menjanjikan. Segala fasilitas negara mulai dari gaji, tunjangan kesehatan, sampai pensiun adalah pemikat untuk setiap tahunnya berjuta orang mengadu nasib agar bisa menjadi pegawai negeri. Bahkan ada juga yang berani menyiapkan sejumlah dana dengan tujuan bisa masuk ke dunia PNS yang penuh dengan ketidakjelasan.
Ketidakjelasan itu mungkin hanya saya yang merasakan karena pengalaman yang membawa saya melihatnya. Tahun 2000 awal saya mendapatkan panggilan untuk mengikuti tes masuk pegawai negeri di sebuah lembaga nasional milik negara. Bukan sembarang tes ternyata karena diikuti oleh sekitar 500an peserta dan hanya 15 orang yang akan diambil.
Bagi saya panggilan itu bukan sesuatu yang sangat menarik perhatian karena pegawai negeri bukan suatu hal yang masuk dalam mimpi saya. Orang tua memang punya latar belakang pegawai negeri jadi merekalah yang sangat bersemangat mendorong saya untuk mengikuti tes masuk pegawai negeri itu. Sejujurnya saya merasa asing dengan lembaga yang mengundang saya karena saya tidak merasa pernah melamar ke lembaga itu. Bahkan mendengar namanya saja baru kali itu ketika surat panggilan mengikuti tes masuk saya terima.
Oke, demi untuk menyenangkan orang tua, mungkin itu kalimat password yang saat itu saya gunakan. Saya mengikuti saran bapak yang awalnya hanya menghibur saya dengan kalimat, “Coba saja, biar kamu tahu seperti apa tes masuk pegawai negeri itu dan mengapa orang sampai berbondong-bondong ingin jadi pegawai negeri.” Hhmm…. kalimat itu sepertinya cukup menantang saya untuk ingin tahu. Baiklah, tahap demi tahap saya lewati tanpa beban bahkan tanpa sedikitpun harapan yang terpendam di hati agar saya diterima.
Ternyata, setelah berbagai tahapan tes saya ikuti sampailah pada tahap wawancara oleh sejumlah staf penting di lembaga itu. Dengan ketrampilan bahasa yang diuji, saya dapat memberikan jawaban yang memuaskan mereka. Sampai akhirnya saya terpilih dari sekian banyak kandidat sejak awal tahapan tes.
Gembira, itulah ekspresi yang terlihat dari wajah orang tua saya saat itu. Mereka sangat bangga karena saya bisa diterima di lembaga negara yang menurut saya namanya pun sangat asing bagi saya. Tidak seperti peserta lain, mereka masuk ke lembaga itu karena latar belakang ilmu eksakta sementara saya masuk dengan berbekal ijazah IKIP serta satu bahasa asing yang saya pelajari.
Awal waktu bekerja pun datang. Sebagai anak baru dengan status cpns saya harus melakukan berbagai adaptasi lingkungan seperti sistem absensi, lingkungan gedung, serta rekan kerja yang semuanya masih baru. Saya merasakan lembaga itu menjadi sebuah kantor saat pagi dan sore hari karena saya bisa melihat sejumlah wajah yang lalu-lalang di gedung itu. Tetapi selain pada waktu itu, saya merasa kantor itu sangat sepi, hanya ada satu teman saya seangkatan. Mungkin mereka punya pekerjaan yang dilakukan di tempat lain, atau hanya di ruangan ini saja yang sepi, pikiran positif tetap terus saya ciptakan.
Hari demi hari saya merasakan suasana sepi dan statis. Saya berusaha menyibukkan diri dengan koneksi internet yang terfasilitasi dengan baik di lembaga itu. Berselancar di alam maya mencari informasi seputar informasi luar angkasa seperti NASA adalah pekerjaan yang saya cari-cari sendiri. Dengan alasan pusat informasi dan dokumentasi, saya berniat harus juga aktif mencari informasi dari luar negeri kita ini agar tidak ketinggalan berita.
Dua bulan terasa juga hari-hari yang semakin membosankan itu. Apalagi seperti ada yang hilang dalam hidup saya, ya.. suara anak-anak yang ramai dengan teman-temannya. Di lembaga itu saya seperti memasuki dunia yang lain dari dunia saya biasanya. Bukan masalah sindrom digemari tapi ada perasaan senang ketika melihat anak-anak yang menunggu kedatangan saya untuk belajar bersama. Itulah perasaan yang membuat saya ingin pergi dari tempat itu dan kembali ke dunia saya, dunia anak-anak.
Dunia anak-anak sudah menjadi bagian hidup saya sejak masa kuliah dulu. Usia 3 tahun sampai 12 tahun adalah manusia-manusia unik yang belum menilai sesuatu di dunia ini dengan materi. Bagi mereka siapapun yang bisa memahami mereka akan bisa diterima di dalam ruangan manapun di dunia mereka.
Bermain, itulah kata kunci untuk bisa masuk ke dunia anak-anak. Terkadang banyak manusia yang memandang dunia yang telah mereka lewati sebelumnya adalah dunia yang rendah, tidak perlu lagi untuk dilihat apalagi untuk dimasuki kembali. Kalau kita bicara masalah dimensi waktu memang itu adalah hal yang tidak dapat kita ulangi kembali, tetapi jika kita melihat dunia yang telah kita lewati itu adalah dunia yang dapat kita jadikan sebagai ladang untuk pengembangan diri, mengapa tidak kita lakukan.
Kesulitan yang pernah kita lewati pada saat melewati dunia-dunia itu, tentunya akan dapat menjadi bahan pengembangan bagi generasi berikutnya yang akan melewatinya juga. Siapa tahu mereka bisa lebih sukses melewati dunia yang saat ini sedang dihadapi.
Sekarang, saya sangat menikmati dunia anak-anak yang menjadi pilihan saya. Ekpresi, celoteh serta warna-warni tingkah laku mereka yang setiap hari tidak sama adalah dunia yang sangat indah. Bersama mereka, saya belajar banyak hal yang mungkin buat kita orang dewasa adalah hal yang sepele atau kurang bernilai, tetapi tahukah anda bahwa itu semua mengandung refleksi nilai-nilai kehidupan. Tahap-tahap mereka belajar memahami sesuatu, kemampuan mereka bersosialisasi dengan lingkungannya serta bagaimana mereka belajar dalam menghadapi masalah adalah cermin bagi kita orang dewasa untuk juga terus belajar dalam menjalankan hidup ini. Semua itu jika saja kita lihat lebih dekat (zoom in) adalah hal yang sangat menyentuh tabungan refleksi hidup kita.
JAdi skrg mba udah jd guru lagi? ninggalin pns nya,ato jalani dua2 nya?