Meski bekerja dengan benda-benda “mati” seperti segala perabot dan kelengkapan lainnya, namun ternyata menjadi desainer interior memerlukan juga kemampuan berkomunikasi.
“Untuk menghasilkan desain interior yang fungsional dan estetis, maka perlu komunikasi ruang” ungkap Citra Smaradewi, praktisi desainer interior sekaligus dosen desainer interior di Fakultas Seni Rupa Intitut Kesenian Jakarta (IKJ). Bagi Citra, pemahaman akan sirkulasi ruang, lay out ruang, menjadi sangat penting dimiliki oleh seorang desainer interior. “Kita harus mampu menterjemahkan karakter pemilik rumah dengan tata interior yang sedang kita susun. Bagaimanapun juga tata interior sebuah rumah merupakan representasi dari pribadi pemilik rumah”.
Citra yang saat ini juga menjabat menjadi Dekan Fakultas Seni Rupa IKJ selalu mengingatkan kepada para mahasiswanya untuk selalu memperhatikan banyak sisi saat nantinya bekerja dilapangan, termasuk memperhatikan sisi psikologis dari pemilihan warna bahan yang digunakan.
Bagi Citra, menjadi desainer interior adalah sebuah panggilan jiwa. Sebuah pilihan yang secara serius digelutinya semenjak dirinya menentukan jurusan desain pada awal kuliahnya. Bahkan saat dirinya mendapatkan kesempatan bekerja sambil kuliah, bidang yang dijalaninya pun tidak jauh berbeda, yakni menjadi penulis pada sebuah majalah yang membahas masalah desain interior dan eksterior. Sempat pula dirinya menjadi salah seorang konsultan di sebuah lembaga konsultan interior tingkat nasional, dan juga sempat aktif di Himpunan Desainer Interior Indonesia (HDII). Pendeknya benar-benar Citra seolah terlahir untuk bidang yang memang sangat dicintainya tersebut. “Rasanya ada kepuasaan tersendiri ketika rancangan yang dibuat sudah selesai dan bisa dinikmati banyak orang, terlebih bila rancangan tersebut sesuai dengan konsep dan memiliki fungsi ideal” papar penerima berbagai penghargaan atas karya-karyanya tersebut.
Kecintaannya pada bidang ini pula yang menyebabkan Citra tidak pernah merasa bosan berbagi ilmu dengan para mahasiswa. Meski saat ini dirinya sangat membatasi menjadi dosen tamu di universitas lain, namun baginya mengajarkan ilmu yang dia kuasai merupakan bagian dari upaya regenerasi secara berkelanjutan, “Di Jurusan Fakultas Seni Rupa – IKJ sendiri, saya selalu menerapkan bahwa antara konsep yang idealis dan skill harus jalan berbarengan, ini yang akan menjadi kekuatan para lulusan nantinya”, tambahnya lagi.
Untuk itu pula Citra melihat bahwa penguasaan teknologi menjadi bagian tidak terpisahkan yang harus dikuasai oleh para desainer. “Hal ini sama dengan pemahaman terhadap product knowledge, yang tidak semata-mata kita melihat fungsi dari produk yang kita tempatkan pada satu titik, namun juga harus dilihat dari sisi ideologi, filosofi, dan psikologis dari penempatannya itu sendiri. Intinya harus tetap ada komunikasi ruang dalam setiap karya desain interior” jelasnya lagi. Perempuan yang memiliki hobi melukis dan telah beberapa kali menyertakan karya lukisannya untuk dipamerkan menuturkan contoh-contoh hubungan antara komunikasi ruang dengan pendekatan psikologi maupun ideologi. “Contohnya saja ketika sebuah tempat kerja di desain dengan banyak kaca, maka berarti dia menginginkan proses yang transparan dan terbuka dalam bekerja. Demikian juga bagi pemilik gerai roti yang langsung dimasak di dapur mereka, kebanyakan sudah mengadopsi model dapur yang transparan, bisa dilihat langsung proses pembuatan rotinya oleh para konsumen”.
Kemudian alumnus IKJ yang menyelesaikan pendidikan masternya di Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia ini juga menambahkan tentang betapa makin berkembangnya dunia desain interior sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan manusia modern saat ini. Misalnya saja dulu orang tidak terpikir di sebuah rumah sakit diperlukan cafe ataupun lounge, namun saat ini hampir semua rumah sakit standar nasional dan modern sudah melengkapi dirinya dengan fasilitas tersebut.
Menurut Citra, sejalan dengan makin berkembangnya pembangunan fisik di berbagai bidang, maka profesi desainer interior ini pun makin dibutuhkan. Daya serap pasar pada lulusan di bidang desain interior masih terasa sangat besar. Namun dirinyapun memperkirakan pada tahun 2015, dengan situasi pasar bebas, akan makin banyak desainer interior dari negara lain yang masuk ke sini, hal ini harus benar-benar diantisipasi oleh para desainer interior Indonesia. “Kalau kita semua tidak segera mempersiapkan diri, kita bisa tertinggal dengan metode pemanfaatan teknologi mereka yang cenderung lebih canggih” ucapnya.
Sebagai praktisi yang saat ini lebih banyak mendedikasikan waktunya untuk dunia pendidikan dan sebagai konsultan, Citra mengakui bahwa persoalan komunikasi ruang memang relatif sering dialami oleh para desainer muda di Indonesia. Konsep desain yang jenius, sudah seharusnya dipadukan dengan kemampuan desainer untuk memahami filsafat dan fungsi dari produk yang didesainnya. “Yang terpenting juga komunikasi ruang ini harus terus menyesuaikan diri dengan perubahan jaman, harus up to date, sehingga nantinya para desainer interior mampu menjadi trendsetter, paling tidak di negeri sendiri, sebelum akhirnya mampu berkiprah di kancah internasional” paparnya penuh optimisme mengakhiri perbincangan.