oleh Kahar S. Cahyono (Pemenang Harapan – Share Your Career Story)
Tinggal di Jakarta
Siang itu sebuah pesan pendek masuk ke handphone saya. Dari pengirim yang tidak dikenal, “Awas…!! PHK ancam kita. Sekarang Grand Pintalan, PPIT, Spotec, SBY… dan berikutnya mungkin anda?? Lalu apa yang akan anda lakukan?! Solidaritas tolak PHK.“
Pertengan tahun 2008, ketika krisis ekonomi global melanda, banyak perusahaan tutup. Situasi ini mengakibatkan puluhan ribu karyawan kehilangan pekerjaan. Tentu kenyataan ini menyakitkan. Apalagi, untuk mendapat pekerjaan baru, tidak semudah yang kita bayangkan.
Banyak yang kemudian berharap bisa merintis usaha bermodalkan uang pesangon yang didapat. Namun saya berprasangka baik. Cara ini pun belum tentu efektif dan berhasil, terbukti banyak yang gagal akibat modal usaha habis untuk kebutuhan sehari-hari.
Pada akhirnya, bukan solidaritas tolah PHK yang sesungguhnya bisa menjadi “penyelamat” bagi mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja. Tetapi yang harus dilakukan adalah bersiap menghadapi PHK, jauh hari sebelum PHK itu sendiri terjadi. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan posisi tawar kita sebagai seorang karyawan, sehingga ia tidak merasa dunia telah berakhir ketika PHK menimpanya. Salah satunya dengan melanjutkan kuliah.
Karyawan kuliah?
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari aktivitas yang satu ini. Sebab kenyataannya, banyak orang yang melanjutkan kuliah setelah bekerja. Namun yang tidak pernah diungkap, apa motivasi yang melatar belakangi mereka sehingga bisa melakukan kedua aktivitas itu secara bersamaan? Bagaimana pergulatan pemikiran mereka, di tengah bayang-bayang kebutuhan hidup yang semakin meningkat, sementara penghasilan terbatas? Padahal di sisi lain, banyak karyawan yang hanya mengeluh dan memilih lembur untuk menampah penghasilan?
Banyak yang beranggapan, bahwa tujuan akhir gelar akademis adalah pekerjaan. Bila sekarang sudah bekerja, mengapa harus repot-repot sekolah lagi? Kalaupun niat ada, permasalahan berikutnya adalah soal biaya. Jangankan untuk kuliah, untuk kebutuhan hidup sehari-hari pun masih harus nombok!
Pada awalnya, saya termasuk golongan yang beranggapan bahwa kuliah sambil bekerja adalah sia-sia. Apalagi yang mau dicari? Toh pekerjaan sudah didapat. Anak sudah dua, sedangkan istri tidak bekerja. Timbul kekhawatiran, saya tidak mampu membayar biaya kuliah.
Namun justru karena berbagai kesulitan itu, saya berfikir keras bagaimana caranya agar mendapat tambahan penghasilan untuk membayar biaya kuliah. Sebelumnya, saya termasuk karyawan yang gemar melakukan kerja lembur. Namun seiring aktivitas yang baru ini, kerja lembur nyaris tidak mungkin saya lakukan lagi. Sepulang kerja, saya harus segera mengejar jadwal untuk segera tiba di kampus agar bisa mengikuti jam kuliah pada malam harinya.
Dalam tahap pertama ini saja, saya merasakan perubahan pada diri saya. Meski akibat tidak melakukan kerja lembur, penghasilan saya berkurang, namun “perekonomian” keluarga masih terselamatkan. Benarlah kata para motivator, bila kita berkeyakinan sesuatu hal bisa dilakukan, maka keyakinan itulah yang akan menuntun kita untuk menemukan jalannya.
Pada awalnya, ketika baru masuk kerja, saya bisa berhemat. Bahkan memiliki sedikit tabungan. Namun seiring dengan meningkatnya pendapatan, pengeluaran saya juga meningkat. Bahkan saya mulai terbiasa melakukan pembelian dengan sistem kredit (misal: motor, handphone, TV, dsb), sehingga bila dihitung-hitung, hutang saya lebih besar dibandingkan dengan tabungan yang saya miliki.
Maka, dengan tidak adanya lemburan, secara otomatis kebutuhan keluarga pun ikut menyesuaikan.
Peran istri tercinta tentu sangat besar disini. Tanpa dorongan dan keikhlasannya, berat rasanya untuk mengambil keputusan sepenting itu. Lagi-lagi, saya mendapat tambahan energi. Dan inilah fakta kedua dalam perjalanan karir saya, bahwa dibalik laki-laki hebat, selalu ada perempuan yang menghebatkannya.
Tanpa diduga, nilai prestasi saya mendapat predikat “memuaskan”. Sebabnya adalah, komitment saya untuk tidak melakukan kerja lembur, membuat saya berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai jadwal kantor. Baru saya menyadari, ternyata bila kita bekerja secara efektif dan efisien, waktu kerja 8 (delapan) jam sehari lebih dari cukup untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari. Sejujurnya, selama ini, banyak waktu yang terbuang sia-sia dengan mengerjakan sesuatu yang tidak berhubungan dengan tugas-tugas utama.
Itulah sebabnya, saya bisa melakukan kuliah tanpa dibebani pekerjaan yang menumpuk. Diluar itu, bila pada hari-hari libur, seperti sabtu dan minggu saya tetap masuk kerja, saat ini saya bisa menggunakan waktu-waktu tersebut untuk membangun karir kedua. Misalnya dengan melakukan budidaya jamur tiram putih, membentuk Bimbingan Belajar, hingga bergabung dengan kelompok budidaya ikan lele di daerah Sukabumi.
Pada akhirnya, kekhawatiran saya terhadap biaya kuliah terjawab sudah.
Paling tidak, saat ini saya memandang PHK sebagai suatu hal yang biasa. PHK bukan hal yang harus ditakuti, tetapi justru dipersiapkan kehadirannya. Sebab suka atau tidak, pada saatnya nanti, akhir perjalanan karir setiap karyawan akan berujung pada pemutusan hubungan kerja. Pertanyaannya kemudian, seberapa siapkah anda ketika vonis PHK anda terima?