Profil Karir – Deny Syafrin.
Kisah di bawah ini adalah satu contoh bagaimana kita memaknai profesi, walaupun ‘hanya’ seorang supir taxi, Pak Deny mampu mengajarkan kepada kita bagaimana menikmati dan memaknai profesi yang kita tekuni.
Deny Syafrin, demikian nama lengkapnya. Saya bertemu dengannya dalam perjalanan dari rumah menuju Cikini. Sepanjang perjalanan, ia mampu membuat saya fokus mendengarkan apa yang dikatakannya.
Ambon, demikian julukan namanya, katanya karena ia hitam dan seperti orang Ambon, jadi teman-teman kerjanya memanggilnya Ambon. Ia bekerja di sebuah perusahaan taxi besar, Blue Bird, sudah hampir lima tahun ini.
Lelaki kelahiran Palembang, 49 tahun lalu dari ayah Mandailing, Tapanuli Selatan dengan ibu, Padang ini, seorang yang banyak tawa dan senang bicara. Sepertinya ia orang yang tidak gampang marah. Sesekali ia bernyanyi-nyanyi kecil, jika tidak ada yang dibicarakan. Satu hal yang menarik darinya adalah kemampuannya mengarahkan saya untuk mencermati setiap perkataannya.
Sejak membuka pintu taxi, ia langsung menyapa saya dan menanyakan tujuan saya. Kemudian ia memilihkan jalan yang cepat sampai tujuan. Jalur yang dipilihnya oke, karena jalur itu juga yang ingin saya ambil. Baru dua menit berjalan, ia memulai kembali pembicaraan dengan pertanyaan:
“Ibu sudah pakai kacamata?”
Dalam hati saya bertanya-tanya, apa tujuannya bertanya hal tersebut. Ia-kan sudah melihat saya pakai kaca mata. Tapi untuk sopan santun, saya jawab “sudah”.
“Minus berapa, bu?”
“1.5”
“Ibu, jangan makan mie, telur, dan ayam. Ibu tahu mengapa? Karena sejak tahun 1972, ayam boiler diimpor masuk Indonesia. Ini menyebabkan bangsa Indonesia bodoh. Ibu tahu, makan ayam boiler menyebabkan kita banyak penyakit. Lihat saja ayam itu, lebih banyak diamnya dibanding bergeraknya. Ayam itu malas. Jalan sebentar, sudah cape. Kita yang makan ikut malas juga. Bandingkan dengan ayam kampung, banyak larinya. Rajin cari makan.”
Memang tidak ada hubungan antara minus 1.5 dengan ayam boiler, juga kebenaran dari ceritanya masih harus diteliti lebih lanjut. Tapi saya mulai tertarik dengan tema pembicaraannya yang dipilihnya.
“Saya ingin bangsa ini pintar. Karena itu saya rajin mengatakan ini kepada hampir setiap penumpang taxi saya,” lanjutnya dengan semangat.
“Bapak sendiri, sejak kapan berhenti makan mie, telur, dan ayam?” tanya saya ingin tahu.
“Sejak 1997. Mengapa saya tahu ini? Karena ibu saya suka makan telur negeri dan ayam boiler, hampir setiap hari. Ia meninggal kena kanker. Ayah saya juga. Dari situ saya belajar, ayam boiler dan telur ayam negri itu tidak bagus untuk kesehatan. Mie juga tidak sehat, “lanjutnya dengan yakin.
“Ibu tahu, mengapa ibu-ibu dulu kuat melahirkan anak hingga 12? Karena air susunya lancar. Tidak perlu pakai caesar pula, itu karena ibu-ibu dulu tidak makan mie, telur, dan ayam. Sekarang ini, banyak anak gadis makan mie. Maaf ya. Ini menyebabkan air susunya kering. Tidak bisa menghasilkan cukup asi untuk anak-anaknya. Jadi anaknya juga sedikit. Istri dan anak juga saya larang makan mie. Makan bihun boleh, tapi mie tidak boleh sama sekali. Mie juga menyebabkan maag dan penyakit perut.”
Waduh..
Saya tadi telah berpikir untuk tidak lagi makan ayam-ayam itu. Sekarang otak saya berputar menganalisis apa efek paling buruk dari mie instant yang saya makan kemarin…
“Mulai sekarang berhenti makan mie, telur, dan ayam, bu. Ibu pasti sehat. Seperti saya. Saya bisa penuhi setoran karena terus keliling cari penumpang, tidak banyak istirahat. Ini karena saya tidak makan mie, telur dan ayam,” sambungnya lagi dengan nada yang tidak berubah, penuh semangat.
“Saya juga tidak minum air es. Jangan minum air es, bu, kalau darah mau lancar dan tidak gampang masuk angin. Air es menyebabkan darah kita menjadi dingin. Jadi mudah masuk angin. Orang Jepang kirim kulkas ke kita, tapi mereka sendiri selalu minum teh anget. Ini membodohi kita. Kita jangan jadi bangsa yang bodoh.”
Walah…
Apakah saya perlu berhenti minum air es ini juga? Pikiran saya melayang ke bangsa yang mengirim ayam boiler dan kulkas itu.
Sepanjang perjalanan yang hampir satu jam ini, ia telah membuat saya ingin berhenti makan ayam boiler, telur ayam negeri, mie, dan air es. Bagaimana jika dua jam perjalanan? Mungkin saya sudah merencanakan tidak makan apapun.
Konsistensinya dalam membicarakan dampak makan mie, telur, dan ayam mengagumkan saya. Setiap saat, ada saja caranya untuk meyakinkan saya bahwa mie, telur dan ayam tidak baik bagi kesehatan.
Semua pembicaraannya konsisten seputar kesehatan. Saya rasa ia cocok menjadi duta sehat, seandainya saja tidak merokok. Waktu saya konfrontir mengapa ia merokok padahal merokok tidak sehat bagi paru-paru. Ia bilang, “Bu, orang-orang dulu merokok, tapi mereka tetap sehat. Bisa kerja sawah, nyangkul, berjalan kaki puluhan kilo itu karena tidak makan mie, telur, dan ayam.”
Weleh.. lagi-lagi mie, telur, dan ayam.
“Teman-teman saya, tidak ada yang berani kalau tanding setoran dengan saya, bu. Saya bisa keliling terus, tidak berhenti untuk cari setoran, itu karena saya tidak makan mie, telur, dan ayam. Saya jadi tidak mudah sakit. Badan juga kuat. Saya juga tidak mau dikasih radio. Saya tidak suka disuruh cari alamat, saya lebih senang ketemu orang di jalan. Orang melambai, saya berhenti,” lanjut lelaki yang sekilas mirip Obama ini.
Lelaki yang pernah bekerja sebagai mekanik di sebuah perusahaan minyak, Caltex, ini tampak yakin sekali dengan apa yang diucapkannya. Dari pembicaraan yang terjadi sepanjang perjalanan, saya tertarik untuk menggali lebih banyak darinya.
“Pak, apa yang Bapak senangi dari profesi supir taxi ini?”
“Saya senang karena bisa makan dimana-mana. Bisa makan di tempat yang ingin kita singgahi untuk berhenti, tapi saya tidak makan mie, telur, dan ayam. Saya juga bisa lihat-lihat banyak pemandangan. Bisa keliling-keliling kota. Bisa ngobrol dengan banyak orang.”
Lagi-lagi mie, telur, dan ayam…
Namun, satu hal yang saya kagumi darinya adalah konsistensinya menyebarkan kampanye tidak makan mie, telur, dan ayam kepada setiap penumpangnya. Seperti yang ia ceritakan kepada saya. Pernah seorang penumpangnya, seorang dokter, menyarankannya agar terus menyebarkan cerita ini kepada setiap penumpangnya, sehingga rumah sakit tidak penuh dengan orang sakit karena makan junk food.
Lepas dari apa yang ia yakini. Pak Deny adalah contoh orang yang bisa memaknai profesinya dengan cara yang unik. Cara yang menjadikannya betah menjalani profesi sebagai supir taxi. Ia telah menemukan makna kerjanya walaupun mungkin tidak menyadarinya.
Kita membutuhkan orang-orang seperti ini. Orang-orang yang bisa menularkan antusiasme-nya kepada kita. Orang-orang yang memiliki konsistensi dalam melakukan tindakan. Ada kalanya ditengah kesuntukan kita berhadapan dengan beban kerja, bertemu dengan orang-orang seperti ini akan memberikan semangat baru.
Inti dari kisah Pak Deny adalah kita perlu menemukan satu hal yang kita yakini dan kita tindaklanjuti keyakinan tersebut dengan tindakan. Inilah cara memaknai dan menjalani profesi. Yang pasti, Pak Deny sudah menemukan cara untuk memaknai profesi yang ditekuninya.
Bagaimana dengan Anda?
Hehehe.. menarik sekali tulisan ini. Saya juga senang bertemu dengan figur seperti Bapak Deni, lugas, dan apa adanya.
barusan saya naik taksi beliau dan mendengarkan cerita yang sama dengan Ibu. bedanya tidak saya ambil fotonya hehehe….. cerita beliau ada benarnya tapi memang harus dicari dahulu kebenarannya secara ilmiah, akan tetapi semangat dan antusiasnya men”dakwah”kan mie telur ayam ini patut diacungi jempol.
lucu ya.. menarik dan segar, tapi penuh makna.
@Anton: Terima kasih… Pak Deny ini memang lugas dan apa adanya.
@Miraikuro: Hehehehe.. benar, Mira. Semangat dan antusiasme Pak Deny ini patut diacungi jempol.
@Wulan: Hidup ini memang perlu dibikin simpel dan segar, tapi penuh makna. Benar kata kamu.