“Eh, mana novel lu?” Kaka menahan sendoknya dua senti dari mulut teringat janji Mimi minggu lalu. “Aduh..gue ga mau dicela ah….,” elak Mimi pendek. “Siapa yang mau cela?” tanya Didi heran. “Tenang aja, gue kemarin baru dicela habis-habisan di sidang,” hibur Kaka sambil tersenyum kecut campur pedas, soalnya makan rendang hihihi.
“Gue kan butuh masukan, masa dibilang tokoh-tokoh utamanya ini gue semua, bete ga…, gue tu pengen ada input untuk alur cerita,” omel Mimi hampir tanpa jeda. Ia yang biasanya tampil tenang kali ini terlihat gusar, meski tanpa loncat kodok. Kaka dan Didi mencoba tampil penuh pengertian, mendengarkan sambil mengangguk-angguk mirip eyang dan oma di senja hari. “Makanya, sini, gue baca novel elu,” ujar Kaka penuh simpatik. Namun Mimi masih cemberut, sepertinya ini memang pose sejak taman kanak-kanak yang tak lekang waktu. Sementara otak Didi melayang sambil menyeruput jus alpukat, mencoba mencari kata yang dapat menghibur sekaligus memberi semangat. Maklum, ia sadar doyan celetak-celetuk tapi kayaknya kurang pas saat ini. Wiih… diam-diam ia kagum sendiri, betapa pengertiannya kekeke…
“Gue sadar sih, antar tokohnya kurang nyambung, aduuh susah deh..,” kalimat Mimi menggantung di langit foodcourt petang itu. “Mungkin karena temen gue ini tahu gue banget jadi ngeliatnya semua tokoh utama ini gue semua, tapi kan bukan,” lanjut Mimi masih dengan nada yang kesal. “Hmmm…. ya mungkin karena itu Mi, jadinya bias, ” sambung Didi, lega juga dia bisa komentar singkat dan padat namun mendapat sambutan tarikan nafas Mimi yang sedikit menyiratkan rasa lega.
Kaka masih memandang Mimi, “Jadi kapan mau lu kasih lihat tu novel?” akhirnya pertanyaan ini lagi yang keluar. “…Waah…gue gak pengen ganggu waktu elu Ka,” Mimi masih belum rela kalau-kalau mendapatkan hujatan lagi, hiks. “Ayolah Mi, tulisan lo kan asyik, sering dapat komen, emang susah bikin novel atau cerita, beda jauh sama artikel, kita semua tahu, paling elo perlu lebih mengembangkan lagi, lebih detil lagi kali deskripsinya. Kayaknya itu rata-rata kelebihan novel atau cerita dari luar, detiiiiil banget deskripsinya,” Didi masih mencoba merayu…meski terasa berargumentasi. “Naah…itu dia Di, susaah…,” balas Mimi semangat, nadanya naik lagi dua oktaf.
Sepertinya harus diakui terjadi deadlock….., Kaka dan Didi pun menyerah dan mengganti tema pembicaraan, meski tetap berharap Mimi keesokan paginya muncul di kantor dan membawa naskah novel itu. Kaka masih ingat tahun 2010 kala Mimi muncul di satu siang mengabarkan akan menjadi ghost writer. Rencana yang ditentang penuh semangat oleh ia dan Didi, hingga akhirnya Mimi pun mengaku sudah menyiapkan materi untuk bukunya sendiri. Ah… pasti inilah hasilnya, tapi…. namanya juga orang lagi kecewa. Mungkin hanya angin yang dapat menyejukkan Mimi…, Kaka dan Didi benar-benar berharap semoga tidak masuk angin.