Coni sahabat saya. Banyak hal yang saya pelajari dari Coni. Hal yang paling saya ingat adalah kekuatannya untuk berjuang hidup, walau penyakit parah telah mengancam jiwanya.
Coni mengajarkan kepada saya bagaimana berjuang mempertahankan hidup. Ia mampu menunjukkan ketabahan dan semangat hidup yang luar biasa. Sebuah perjuangan yang patut diikuti. Tapi bukan itu saja yang ia ajarkan pada saya.
Walaupun bengkak di tubuh Coni lebih besar dari tubuhnya, ia tetap memperlihatkan keceriaan dan keingin-tahuan yang besar sekali. Gerakannya yang semakin terbatas, tidak menjadikannya lemah. Bahkan sebaliknya, ia seakan-akan tidak sedang sakit dan senantiasa bermain dengan gembira.
Pertama kali dibawa ke dokter, dokter menyatakan bengkak ditubuhnya adalah tumor. Tidak bisa diobati lagi. Saat itu saya percaya. Namun, saya ingin mendapatkan second opinion, dan ternyata diagnosis dokter ini berbeda. Saat itu juga Coni dioperasi, ada abses yang harus dihilangkan dari perutnya. Bengkak Coni mengecil. Dan dokter memberikan obat yang harus di teteskan ke dalam mulut.
Perlahan namun pasti, Coni berangsur-angsur menjadi Coni yang dulu dengan tubuh kecilnya, lebih lincah, lebih galak, dan lebih lucu. Hingga muncul peristiwa itu. Dua minggu setelah operasi, sebuah kesalahan pemberian obat saya lakukan, menyebabkannya meninggal.
Saya sedih sekali dan menangis, saat itu saya berharap Coni yang ada dalam genggaman saya menunjukkan tanda-tanda kehidupan lagi. Coni, hamster kesayangan saya. Sahabat saya. Ia berumur dua tahun saat meninggal di tahun 2006 lalu.
Bagaimanapun juga, rasa menyesal itu cukup mendalam. Di saat-saat kesehatannya telah berangsur pulih, saya malah menyebabkan Coni mati. Ironis dan tragis. Cukup lama saya tidak bisa tidur nyenyak, walaupun tahu semua terjadi karena ketidak-sengajaan.
Eksistensi Coni telah memberikan pengalaman tak ternilai dalam hidup saya. Seringkali saya berpikir seandainya… seandainya…. Namun, bukan itu yang ingin Coni ajarkan pada saya.
Jangan pernah menyerah atas setiap masalah yang dihadapi, sebagaimana perjuangan yang ditunjukkan Coni dalam melawan penyakitnya. Dan berhati-hatilah dalam bertindak, agar terhindar dari penyesalan. Itulah yang diajarkan Coni kepada saya.
Jadi, jangan pernah menyerah atas hidup Anda, termasuk menggapai karir impian Anda. Namun, jika Anda telah berupaya dan berikhtiar, Tuhan jua-lah yang jadi penentunya. Dan tetaplah berhati-hati dalam bertindak, terutama jika sukses karir telah Anda raih, karena penyesalan selalu datang belakangan.
Belajar dari Apa (siapa) pun…
Cerita ini mengingatkan saya sekian tahun yang lalu, sekitar 2003-4, saya kehilangan sahabat yang berasal dari satu genus namun beda species hehehe.. Ia berbulu putih bersih berlapiskan lilin lembut yang siap menghalau debu nakal. Sesekali bulunya lepas, ingin rasanya menjadikannya alat tulis, hehehe… Jambulnya kuning terang, matanya hitam dan ber-eye shadow biru muda, cantik dan genit. Tapi ia bisa galak sekali. Si kakak tua ini sudah hampir empat tahun menjadi adik terkecil bernama Bontot (anak bungsu dalam bahasa Jawa). Ia dinamakan Bontot karena sejak lahir selalu disuapi dengan sendok kecil, makanannya, ambil sepotong kecil roti masukkan dalam gelas, lalu susu bubuk putih dan air hangat. Kira-kira empat-lima sendok teh. Begitulah… hingga usia 3 bulan dihadiahkan pada ayah saya, maka kami tidak bisa berbuat lain selain meneruskan pendidikan ‘meja makan’ sahabat ayah..
Apakah tidak pernah mencoba mengajari memakan ala burung? Oh… sudah.. tapi tak ada yang masuk, bahkan paruh kuat itu hanya untuk merobek-robek sayuran, tanaman cantik ibu, dan mematuk siapa saja yang tidak bersahabat. Bontot pun pernah lebih dari dua kali sakit lumpuh, penyebabnya… susu bubuk habis dan makan hanya bubur roti!!
Setiap pagi, bersama mentari mengintip, ia melenggang seksi keluar dari istana mungilnya, lalu bertengger di batu taman belakang. Kadang, ia pun memanjat dengan kakinya ke ranting atas pohon mangga. Jangan berharap ia terbang!! Saya dan adik senang sekali menggoda ia untuk terbang.. yang ada malah jatuh tersungkur di kolam ikan bawah pohon dan berteriak Kaaak kaaaak……. please.. dech
Atau.. dia akan jalan-jalan ke dalam rumah, saya selalu terkekeh melihat ia terpeleset karena lantai yang licin. Bontot cuek aja.. , tapi ia pun tak sembarangan buang kotoran, bahkan ketika digendong, ia akan sangat memberontak jika ingin buang kotoran. Ternyata tahu sopan santun juga…
Suatu hari ibu kesal karena tanaman di belakang rusak oleh paruhnya. “Di mana-mana burung tu dirantai,” begitu kata ibu. Akhirya setelah gagalnya semua perlawanan argumen saya, adik dan bapak (tiga serangkai yang menyuapi dan bersahabat), dipasangkanlah rantai di jemari Bontot. Tahukah pembaca… dalam harap-harap cemas, si Bontot yang bertengger di ranting ternyata menggigiti rantai hingga putus… “Hore…. ia sendiri lho Bu…,” sorak kami bertiga penuh semangat. Setiap malam tiba tepatnya azan maghrib, si Bontot akan dengan sendirinya berjalan dan masuk ke dalam sangkar, lalu kami menutup pintunya. Sayangnya ia pernah diserang tikus besar hingga matanya rusak satu… meski pedih kami beri julukan sayang lain ‘si mata satu’.
Saya ingat hari itu, hari saya selesai memberinya makan. Saya sempat bercanda dengan sepupu yang berkunjung, ia memuji betapa sehatnya si Bontot. Saya pun berceletuk, “Iya tuh enak disate.. haha.” Sepupu saya sempat mengingatkan, “Huss.. jangan gitu, dengar lho…” Tak lama, ia mengeluarkan bunyi seperti tersedak makanan, biasanya ia akan muntah kalau begitu, tapi ini tidak. Saya cepat mendekati ia di ranting, begitu saya dekat tubuhnya langsung kaku dan terjatuh di tangan saya. Saya panik, ia masih mengeluarkan suara tercekik.
Saya pangku Bontot sambil mengelus-elus.. takut dan bingung. Ayah saya sedang ada tamu di depan, akhirnya saya minta beliau untuk sebentar ke belakang. Tahukah sobat, hanya satu detik, ketika ayah saya melihat Bontot, membelai. Ia pun melepaskan nafas terakhirnya.
Ia menunggu seseorang yang mencintai dan telah merawatnya setiap hari, untuk mengucap sayonara. Saya menagis, sangat menyesal dengan ucapan canda tadi, Bontot kami kubur di bawah pohon mangga singgasananya. Kata ayah, “Kasihan ya… jarang lho kakatua sejinak Bontot.”
Jika seekor burung yang memberi kebahagiaan dengan keunikannya namun saya menjadikannya lelucon, penyesalan ini patut menjadi lecutan untuk diri saya. Mungkin sepintas terlihat manja, tapi ia mengajarkan kami kelembutan dan kesabaran, saya termasuk yang terpilih bisa menyuapinya. Padahal saya jarang di rumah. Hanya dengan bapak, ia langsung melangkah mendekat begitu bapak saya menenteng gelas berisi bubur roti susu, dan paruhnya langsung terbuka tanpa diminta. Sementara saya harus berkejaran dulu, dan meminta paruhnya terbuka. Bapak pun rela mengajari saudara untuk akrab dan menyuapi Bontot ketika akan keluar kota. Bahasa alam yang sangat anggun telah ia hadirkan.
Interaksi dengan rekan kerja pun seringkali tak bisa menghindari celetukan yang mungkin menyakitkan, meski tidak dimaksudkan seperti itu.
Kemarin saya menemukan sehelai bulu Bontot di lemari…
Salam,
P.