Saat kita termangu harus memilih keputusan dari masalah yang kompleks dan menguras emosi, ada suara menyelip, “Tenang ya… biar bisa ambil keputusan bijak..”
Saat tersandung keputusan keliru dan banyak mata menggugat, suara itu pun berbisik: “Semua orang pernah salah, yang penting sekarang bagaimana kita menghadapinya dengan bijak..?”
Saat impian menjelma menjadi kenyataan di depan mata, kaki telah siap menjejak tanah untuk melayang tra la la, kembali suara itu hadir: “Psst… sikapi dengan bijak ya..”
Sejak era Renaissance, orang telah mempertanyakan apakah kebijaksanaan adalah milik manusia atau sifat yang hanya dimiliki Sang Pencipta. Perdebatan pun akhirnya mulai merucut pada akhir zaman Pencerahan. Hingga detik ini, kita pun telah akrab dengan mutiara kebijaksanaan dari berbagai belahan dunia, baik dunia Barat maupun Timur.
Ada yang mengatakan bahwa kebijaksanaan akan lahir dari perenungan dan pengalaman hidup. Pandangan ini pula yang mendorong bahwa menjadi bijak tidak selalu terkait dengan peran social seperti pemimpin atau guru besar. ‘Mutiara adalah mutiara, sekalipun kita menemukannya dalam lumpur’
Studi psikologi
Meski demikian, ilmu psikologi melakukan studi ilmiah selama bertahun-tahun untuk mendapatkan gambaran makna, pengertian dan karakteristik bijak. Berdasarkan studi, kebijaksanaan merupakan integrasi dari aspek afektif (emosi), kognitif (berpikir), dan konatif (tindakan) dalam merespon tanggung jawab dan masalah.
Seorang tokoh psikologi, Erickson (1959) memandang orang bijak adalah mereka yang menjalani dan menerima kehidupan tanpa banyak penyesalan, serta menerima kematian sebagai akhir yang tak terelakkan. Menurutnya, bijaksana adalah sifat yang melekat pada kepribadian seseorang dan sebuah bentuk kedewasaan optimal.
Menurut Clayton (1975), menjadi bijak adalah mampu mengelola paradox, kontradiksi, dan mengembangkan kompromi. Ia mengembangkan skala bijak untuk berbagai usia dan menemukan tiga dimensi yang mencakup: (a) afektif, seperti empati dan kasih sayang; (b) reflektif, seperti intuisi dan interospeksi; (c) kognitif, seperti pengalaman dan intelegensi.
Sowarka (1989) dalam studi doktoralnya menemukan bahwa orang yang bijak menunjukkan sejumlah karakter luar biasa. Secara personal, orang bijak juga memiliki kompetensi intelektual , mampu membawa pengaruh pada orang lain, dan memiliki ketrampilan professional (peran social).
Kramer & Woodruff (1986) & Labouvie-Vief (1990) dengan pandangan Neo-Piagetian lebih menyoroti kebijaksanaan sebagai suatu transendensi kebenaran universal dalam logika formal. Bijak berarti mampu berpikir kompleks, dialektik, komplementer, atau relativistik. Sama dengan Erickson, Neo-Piagetian juga memandang bahwa menjadi bijak berarti menjadi dewasa.
Satu pandangan yang agak berbeda dikemukakan oleh Baltes & Smith (1990) juga Staudinger & Baltes (1994) bahwa bijak merupakan bentuk khusus dari tingkat kecakapan atau keahlian ketrampilan seseorang. Hal ini termasuk dalam mengelola keterbatasan biologis dan kondisi social sekitarnya. Secara singkat, pandangan ini kembali menegaskan tentang keseimbangan dari kognisi, motivasi dan emosi. Menjadi bijak juga menyadari dan mampu mengelola ketidakpastian dalam hidup.
Selanjutnya, Stenberg (1998) menyatakan bahwa keseimbangan adalah kunci kebijaksanaan. Bijak adalah bentuk khusus dari kecerdasan praktis yang memerlukan keseimbangan berbagai minat untuk meraih hal-hal positif.
Bagaimana untuk menjadi lebih dan semakin bijak?
Rangkaian temuan studi di atas setidaknya menunjukkan bahwa setiap orang berkesempatan untuk menjadi bijak. Dua cara untuk melatih diri agar semakin bijak adalah dengan menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan orang lain sebelum merespon dan mempelajari strategi berpikir ‘switching’. Kedua cara tersebut untuk memberikan kesempatan diri untuk melihat sudut pandang lain dan terbuka pada perubahan.
Staudinger & Leipold (2003) dalam bukunya menyelipkan tiga latihan kecil untuk menjadi ‘bijak’:
1. Life planning: “Seorang perempuan 14 tahun menginginkan keluar dari rumah orangtua segera. Apa yang seharusnya Anda/ia lakukan dan pertimbangkan?”
2. Life management: ‘Seseorang mendapatkan telepon dari seorang sahabat yang menyatakan tidak mampu lagi melanjutkan hidup, dan ia memutuskan untuk bunuh diri. Apa yang seharusnya Anda/ia lakukan dan pertimbangkan?”
3. Life review: “Ketika seseorang memikirkan perjalanan hidupnya, terkadang ia menyadari rencana-rencana yang tidak tercapai. Apa yang seharusnya Anda/ia lakukan dan pertimbangkan?”
Tentu kita bisa mengembangkan dengan ‘soal’ lain yang memenuhi criteria di atas. Semoga bermanfaat 🙂
Sumber:
Staudinger,U.M. & Leipold,B. (2003) The assessment of wisdom-related performance, dalam Lopez,S.J. & Snyder,C.R.(2003) Positive psychological assessment: a handbook of models and measures. Washington, DC, US: American Psychological Association