oleh: Yenni S. Nuria (Pemenang 1 – “Share Your Career Story”)
Tinggal di Medan
Terlahir sebagai orang Indonesia bukanlah menjadi pilihanku. Tuhan sudah menentukan sendiri. Termasuk kelahiranku di tengah-tengah keluarga yang sering konflik. Ayahku sebenarnya bukanlah orang yang mudah emosi. Tetapi beliau tipe orang yang memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. Terutama dalam pendidikan kakak, abang dan aku. Ketika kami tamat dari Sekolah Menengah Atas, Ayah memaksa kami untuk memilih jurusan Kedokteran dan Akuntansi. Dengan kata lain kami harus mengambil IPC (Ilmu Pengetahuan Campuran) dalam UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Waktu duduk di bangku SMA aku diijinkan mengambil jurusan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Itupun setelah melalui perdebatan yang panjang. Jadi, aku mengambil jurusan IPS juga saat UMPTN. Dengan pilihan pertama jurusan Akuntansi, sesuai keinginan ayahku. Ternyata, aku lulus jurusan Akuntansi di perguruan tinggi negeri di kota tempatku tinggal. Hari demi hari berlalu tanpa ada sesuatu yang luar biasa, selain keikutsertaanku di kepengurusan organisasi dan kepanitiaan, yang membuatku bisa mengaktualisasikan diri di kampus. Sampai tiba di semester VI, aku merasa begitu lelah dan jenuh mengikuti perkuliahan yang tidak kunikmati selama bertahun-tahun.
Ingin rasanya aku menyerah. Namun aku ingat kepada kedua orang tuaku yang sudah berharap banyak padaku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kekecewaan mereka kalau sampai aku putus kuliah. Aku pun memutuskan untuk bertahan. Akhirnya aku bisa lulus juga dan berhasil mendapat gelar sarjana. Keputusan besar berikutnya meghadang di hadapanku. Pekerjaan apa yang harus aku geluti. Aku ragu. Kegalauan menderaku kala itu. Bagaimana aku bisa menikmati pekerjaanku nantinya. Apa aku mampu bertahan dalam karirku nanti. Entah bagaimana, akuntansi menjadi momok yang menyiksaku. Kalau sudah begini tentu jadi semakin membingungkan. Jurusan yang aku ambil jurusan Akuntansi, tetapi aku tidak suka akuntansi.
Suatu kali, tidak berapa lama setelah aku tamat kuliah, aku pernah di wawancarai seorang pria dari Amerika. Beliau bekerja di sebuah NGO (Non Government Organization). Kesempatan wawancara kerja ini kudapatkan dari temanku yang terlebih dahulu telah bekerja di sana. Bisa dibilang dia yang merekomendasikan aku kepada atasannya. Betapa konyolnya aku. Ketika pria ini bertanya, “Do you like accounting?”. Kujawab dengan agak ragu, “Actually I’m not really like accounting.” Dalam hati aku langsung merutuki diri sendiri. How stupid you are. Hasilnya jelaslah sudah. Tidak mungkin aku diterima dengan jawabanku barusan. Pekerjaan yang akan kulakoni tentu sesuai dengan jurusanku. Dia tahu, aku pasti tidak menyukai Akuntansi dari jawabanku yang terlalu jujur. Memang aku tidak suka, masakan aku harus berbohong. Pikirku kala itu.
Mengingat hal bodoh tersebut, Aku pun memutuskan untuk menerima tawaran sahabatku untuk membuka usaha bersama. Entah angin apa yang membuat orang tuaku menyetujui keputusanku ini. Mungkin karena mereka melihatku begitu hopeless. Awalnya aku hanya terlibat dalam manajemen dan administrasi. Siapa sangka, ternyata usaha yang kami bangun, yang berhubungan dengan desain grafis sangat cocok untukku. Begitu cepat aku bisa menangkap cara menggunakan program desain grafis. Sekarang aku sudah bisa membuat desain produk-produk usaha kami. Walaupun aku merasa masih amatiran, dan belum layak disebut desainer, tapi paling tidak, banyak yang menyukai desain-desainku.
Aku sadar, kemampuanku masih jauh dibanding dengan desainer-desainer ternama di Indonesia. Hal ini tentu menjadi dorongan kuat bagiku, untuk terus meningkatkan kemampuan desainku. Aku begitu menikmati pekerjaanku yang sekarang. Meskipun banyak yang menyayangkan keputusanku. Bahkan setiap konsumen yang menanyakan jurusanku waktu kuliah dulu, pasti heran. Bagaimana mungkin seorang lulusan Akuntansi menjadi desainer. Tapi, itulah faktanya.
Aku melihat hal yang kualami ini ternyata tidak hanya terjadi pada diriku saja. Ada banyak teman-teman dan orang lain yang mengalaminya. Contohnya, wanita yang satu ini, sebut saja namanya Sari. Seorang mahasiswi kedokteran di universitas negeri tempat aku kuliah. Dia mengaku bahwa dia sebenarnya tidak menyukai kedokteran. Dia takut melihat darah. Sari bilang waktu itu, “Kalau boleh memilih, aku lebih suka dengan jurusan Kehutanan.” Lain lagi dengan kisah temanku yang lain. Sebut saja namanya Jessi. Dia teman kuliahku hanya sampai semester II. Jessi mengaku tidak tahan mengikuti kuliah Akuntansi. Dia tidak suka berhitung. Akhirnya dia memutuskan untuk mengulang UMPTN berikutnya. Dia lulus di jurusan Hukum UGM (Universitas Gajah Mada).
Memang di Indonesia, pendidikan Sekolah Menengah Atas masih terlalu umum. Meskipun ada pilihan untuk ke SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), tapi pilihannya masih terlalu sedikit. Ditambah lagi, tidak ada pengarahan bakat dan minat anak sejak dini dari pemerintah, seperti yang sudah banyak dilakukan di negara-negara maju. Kalau sekarang, mungkin para orang tua bisa datang ke psikolog untuk melakukan tes pada anaknya. Tapi, zaman aku dulu, hal ini masih belum tren. Zaman sekarang saja masih jarang orang tua yang berinisiatif membawa anaknya ikut psikotes. Mungkin karena terkendala biaya, atau masih kurangnya kesadaran akan pentingnya mengarahkan si anak sesuai dengan bakat dan minatnya.
Belajar dari pengalamanku dan orang-orang yang pernah mengalaminya, maka aku mengambil kesimpulan, bahwa sangatlah penting mengetahui bakat dan minat seseorang sejak dini. Karena setiap orang pasti dilahirkan dengan bakat tertentu. Ada yang dominan otak kanan, dan ada juga yang dominan otak kiri. Jika sudah diketahui, tugas selanjutnya adalah mengarahkan bakat dan minat tersebut. Dalam hal ini orang tualah yang paling berperan.
Tidak mungkin kita menunggu dan mengharapkan pemerintah untuk melakukan tes itu. Contohnya, si anak berbakat dalam bidang musik, maka orang tua bisa memasukkannya ke kursus musik. Atau jika si anak begitu tertarik dengan mesin, misalnya, dia selalu memperhatikan Ayahnya ketika membongkar mesin, dan dia bisa mengingat bagian-bagian mesin itu dengan cepat, berarti si anak berbakat untuk menjadi ahli mesin. Bisa jadi nantinya dia menemukan sebuah alat baru. Hasil penemuannya tentu turut mengharumkan bangsa Indonesia.
Memang bisa saja dipaksakan, seseorang yang tidak menyukai suatu bidang, tetapi karena tuntutan pekerjaan, maka mau tidak mau ia harus menggeluti bidang itu. Akan tetapi hasilnya pasti tidak optimal. Prinsip ?the right man in the right place’, itu sudah mutlak. Dengan begitu orang-orang akan menikmati pekerjaan mereka dan dengan hasil yang optimal. Hal ini perlu segera dilakukan, agar tidak lebih banyak korban berjatuhan seperti aku dan beberapa temanku.
Akuntansi dengan segala kekakuannya. Akuntansi yang lebih menggunakan otak kiri bukanlah bagianku. Kusadari, keputusan mengambil jurusan kuliah yang tidak sesuai dengan bakat dan minatku, ternyata menjadi keputusan yang salah. Aku termasuk orang-orang yang dominan otak kanan. Ya. Otak kanan, dengan segala kreativitasnya.
Otak kanan dengan segala kebebasannya dalam berekspresi. Itulah aku. Seandainya dari dulu aku mengetahui bakat dan minatku yang sebenarnya, pasti karir desainku bisa lebih baik dari sekarang. Waktu memang tidak bisa diputar ulang, karena itu, aku berusaha semaksimal mungkin mengejar ketertinggalanku.
Robert Lopatin menjadi dokter ketika usianya menginjak 50-an tahun. Bertahun-tahun dia mengubur mimpinya untuk menjadi dokter, demi meneruskan bisnis keluarga. Adapula yang menjadi pelukis setelah usianya 75 tahun. Dan masih banyak lagi kisah-kisah orang yang baru memulai karir, yang menjadi bakat dan minatnya, setelah sekian tahun lamanya menggeluti pekerjaan yang tidak mereka nikmati.
Kisah hidup mereka menjadi motivasi bagiku. Tidak ada kata terlambat, jika kita mau mencoba. Ketika kita telah mengetahui dan menemukan pekerjaan yang paling tepat, kita akan merasakan kenikmatan yang luar biasa dan tingkat stres pun berkurang.
mantabz…teruskan menulis…
eh, tunggu dulu….mau jadi desainer atau penulis????
apa bisa fakus dua-dua nya..???
Luar biasa, kisah yg inspiratif. Memang pada akhirnya, karir yang baik adalah karir yang kita ‘cintai’, bukan lagi urusan teknis, bakat, apalagi background pendidikan, ini semua adalah tentang… passion!
Ok banget nih cerita.. inspiring me a lot. thanks
sepertinya banyak anak muda yang perlu diselamatkan nih