Kiara sudah menyiapkan hari yang ia tunggu sejak minggu lalu. Panggilan seleksi dari satu perusahaan yang ternama, sedang hits di ibukota. Rasanya deg-degan, semangat, khawatir, campur aduk. Tetapi ia sudah membaca beberapa artikel tentang cara menjawab pertanyaan wawancara. Ia harus menunjukkan antusiasme, sebagai pribadi yang menyenangi tantangan, mau berkembang, eksplorasi hal baru. Perusahaan mau terus berkembang, maka membutuhkan tim seperti ini!
Ia memiliki pengalaman sekitar 5 tahun di dua perusahaan. Perusahaan terakhir ini sudah berjalan sekitar 3,5 tahun. Sebenarnya ia senang, karena pekerjaan sudah lebih lancar, atasan pun sudah tidak banyak mengomel karena kesalahan kecil yang dulu ia lakukan. Ia tetap menempelkan CV di mesin pencari kerja online, siapa tahu ada panggilan lebih baik.
Proses seleksi ada beberapa tahap, cukup melelahkan juga. Ia pun tiba pada sesi interview, tidak sabar untuk menunjukkan dirinya yang penuh semangat. Pewawancara terlihat ramah dan santai, mempersilahkan minum sejak awal. Menyampaikan bahwa intinya sesi ini untuk mengetahui pengalaman kerja. Ia pun lancar menceritakan tugas dan proses sehari-hari di tempat kerja.
Ia mulai terhenyak ketika pewawancara beberapa kali menanyakan alasan pindah. Ia sudah menyampaikan butuh tantangan baru, meningkatkan diri, eksplorasi kemampuan tapi sepertinya jawaban itu tidak dipahami juga, apalagi terpukau. Padahal itu jawaban yang jujur, memang tidak ada masalah di kantor sekarang. Ia ingin yang berbeda saja. Saat pewawancara kembali bertanya ekspektasi kerja di perusahaan baru, ia mulai lebih berpikir. Rasanya jawaban eksplorasi juga tidak akan membuat pewawancara percaya, tapi spontan jawaban itu keluar. Benar saja, pewawancara tersenyum dan menyambar dengan pertanyaan lanjut: eksplorasi bagaimana?
Kiara keluar ruang interview dengan penuh tanya. Mengapa semua jawaban mendapatkan pertanyaan yang berulang. Mungkin semua hanya menguji mental saja, atau memang ia tidak meyakinkan dan tidak lolos? Pertanyaan ini mengusik tapi sepertinya tidak ada pilihan selain menunggu pengumuman selanjutnya.
Pada dasarnya, kalimat, “Show me, don’t Tell” sangat berlaku dalam proses seleksi, termasuk interview. Bila Anda menilai diri sebagai orang yang senang tantangan, tunjukkan dengan pengalaman. Bukan dengan beribu kali mengatakan dalam kalimat. Pernyataan ini tidak akan memukau pewawancara.
Berikan pengalaman nyata, seperti melakukan perbaikan proses kerja, mengusulkan dan melakukan proses perubahan, mengelola tugas kompleks, menantang, memperbaiki kesalahan kerja, dan lainnya. Jelaskan secara sistematis. Gunakan prinsip STAR: situasi, task, action, result. Jelaskan peran Anda dalam pengalaman ini.
Jika Anda sendiri tidak tahu secara pasti tujuan pindah ke perusahaan baru, ingatlah, tidak ada perusahaan/lembaga yang senang menjadi tempat percobaan. Bagaimana bila memang tidak ada konflik pemicu pindah, namun rasa bosan? Perasaan ini sebenarnya wajar, namun persiapkan diri untuk menceritakan usaha selama ini mengatasi rasa bosan. Bila ingin berkembang, meningkatkan diri. Ceritakan usaha selama ini meningkatkan diri. Bila alasan Anda adalah, siapa tahu ada perusahaan yang lebih baik, posisi yang lebih baik. Perjelas ekspektasi ini, sehingga tidak terlihat sebagai tindakan iseng.
Ibaratnya, bila saya adalah product designer yang ingin tantangan, maka saya akan melamar ke perusahaan level Asia atau mengikuti kompetisi level Asia. Selama ini saya telah menghasilkan produk yang setidaknya masuk top three dalam penjualan perusahaan. Mengapa, karena saya bersaing dengan kandidat dari berbagai negara. Saya pun harus mempersiapkan diri mengacu pada standar desainer regional. Saya mempelajari karakter tersebut, pernah mencoba kompetisi desain level Asia Tenggara. Bila pengalaman ini yang kandidat paparkan, maka motivasi akan belajar hal baru, ingin mengembangkan ilmu di tempat baru, bukanlah angan-angan.